Sabtu, 24 Oktober 2009

Sabtu, 29 Agustus 2009

calon arsitek




hihi

ovelia

Ovelia Kucing Nyolot



“Ellen, kalo lama gue tinggal!” teriak cowok berseragam SMU dan mulai memasuki mobil hitam metaliknya Honda CRV terbaru, yang dibelikan Mom. Di dalam rumah cewek yang namanya Ellen masih di kamar. Dan mendongakkan kepalanya ke bawah agar dapat melihat kakaknya di garasi.
“Tungguin dong, gue belom selesai dandan..” katanya dan melanjutkan menguncir-uncir rambut panjangnya yang sedikit merah dengan pita.
Reza, cowok yang dimaksud menunggu sabar adiknya yang masih kelas 2 SMP itu didalam mobil sambil sambil memutar kaset Good Charlotte, album the Chronicles of live and death. Ellen, gadis manis yang kurus itu turun ke meja makan dan menemui tantenya. Tante Sara asyik membelai kucing kesayangannya, Ovelia. Ia membelai kucing itu sepenuh hati, seperti anak sendiri. Bahkan mungkin lebih menyayangi Ovelia dibandingkan menyanyangi kedua keponakannya.
Tante Sara di minta Mom Dad untuk menjaga Reza dan Ellen selama mereka di Malaysia.
“Ooh..Ovelia, Hari ini kita akan bersenang-senang. Membeli kebutuhanmu. Eh, Ellen sudah siap? Sana berangkat jangan buat Reza menunggu. Reza`kan orangnya tidak sabaran.” dan mulai membuka dompet kulitnya dan memberi Ellen uang pecahan limapuluhribuan.
Di ciumnya tante itu lalu menuju garasi. Tante Sara masih amat muda. Dan cantik. Tiga pemuda di komplek menyukainya tapi ditolak semua. Tante Sara masih berumur 24 tahun, dan hanya memikirkan Ovelia tanpa mengurusi urusan lain termasuk jodoh.


“Baiklah, Kak.. Ayo berangkat..” ujar Ellen
“Lama amat dandannya..” dan mulai menyalakan mesin mobil. Ellen mengamati mobil kakaknya itu. Pada kursi belakang ada gitar yang terbungkus apik disebelah stick drum dan ada juga Bass.
“Hari ini kakak nge-Band?” Reza tergabung dalam sebuah band yang bernama “Failed Death” bersama dengan 4 anak lainnya. Karena Reza kaya, di rumahnya ada ruang kedap suara tersendiri untuk Reza dengan teman-temannya latihan.
Vocalnya Victor sama Verliany. Victor juga pegang keyboard. Reza pegang gitar dan backing vocal. Yang pegang bass Diyana juga backing vocal. Yang pegang drum Biaz.
“Iya.. tapi bukan di rumah. kita mau latihan di studio music. Udah lama gak kesana. Sekalian mau mampir ke Hemma. Lo ikut aja, temenin gue. Sekalian gue traktir. Mau?” Ellen mengangguk pasti. Dan amat menyukai traktiran.
“Perlakuan Tante Sara sama Ovelia emang gak adil. Dia lebih sayang sama Ovelia dibanding sama kita. Apa hebatnya sih Ovelia? Cuma bisa ngeong doang. Gak bisa di ajak ngomong. Gak bisa aljabar lagi. Gue aja yang bego bisa aljabar. Dan yang jelas cuma pinter ngotor-ngotorin rumah. Iya kan Kak?”
Reza diam aja. Dan hanya memperhatikan jalanan. Ellen menggeleng, kakaknya itu kadang aneh.
“Kok diem, Kak?” Reza mulai mengamati Ellen.
“Yang gak bisa aljabar bukan Ovelia doang, gue juga angkat tangan sama Aljabar..” Ellen dan Reza sama-sama ketawa. Gue kira Reza marah, taunya ngerasa kesindir. Pikir Ellen.
Mobil itu sudah terparkir di halaman depan sekolah. Ada sebuah mobil terparkir di depan mobil Reza yaitu mobil Biaz. Di dalam mobil Biaz, rupanya ada pemiliknya sedang bersama Diyana, pacarnya.
Ellen yang akrab dengan Diyana menghampiri mobil itu. Reza mengikutinya.
“Nah ya! Nger’jain PR!” tudingnya.
“Ellen.. mana Reza?” Tanya Biaz di kursi belakang.
“Gue disini. Emang ada Pr apa? Pr Kimia doang kan?” Diyana dan Biaz mengangguk. Ellen permisi ke kelas. Saat Reza memasuki mobil Biaz, dua orang sahabat mereka datang.
Victor dan Verliany terlihat keluar dari mobil Victor, Dan mereka baru jadian kemarin. Reza, Diyana dan Biaz berbisik-bisik. V-V (Victor dan Verliany) menghampiri mobil Biaz.
“Cie cie.. yang baru jadian..” sindir Diyana.
“Wah, kayaknya kita harus manggil dua orang ini dengan V-V,” tambah Reza. Dan ketiga orang itu ketawa melihat V-V tersenyum malu bermerah padam. Setelah itu, kelima anak band “Failed Death” memasuki kelas mereka yang kebetulan sama. Dan kebetulan duduknya berdekatan. Verliany duduk dengan Reza. Dan dibelakangnya ada Biaz dan Diyana. Sedang Victor duduk di sebrang Reza.


Ketika di kelas, Verliany—yang sedang bicara pada Victor yang meminjam kursi Reza. Saat itulah seorang cewe dengan tampang berangasan datang dengan muka merahnya, di tindik dan style-nya yang enggak banget.
Dengan kasar cewek yang bernama Rininta itu menarik lengan Anny (panggilan Verliany) dengan kasar dan menatap tajam. Verliany hanya dapat menunduk takut. Ninta tak tahu kalau Victor udah jadian sama Verliany.
“Gue minta ya, sama elo, jangan sekali-sekali ganggu Victor. Dasar cewek murahan...” dengar kata-kata itu.


Victor bergerak reflek menarik balik tangan Ninta dan menjambak rambut Ninta yang tergolong panjang.
Diyana datang lalu memeluk Anny yang ketakutan. Diyana, Reza dan Biaz saling berpandangan. Takut. Kalau Victor marah, bisa abiz dunia. Victor keperawakkannya pendiam. Tapi kalau udah marah, dia bisa aja galak banget. Apalagi kalo liat temen-temennya bahkan orang yang disayanginya di perlakukan tidak wajar, ia akan memberikan apa aja untuk orang-orang disekelilingnya itu.



“Gue gak kenal lo, tapi gue yakin betul perbuatan lo tadi bikin gue marah. Lo gak boleh bilang kayak gitu sama Verliany, cewek gue..” katanya sangar!
“Hah? Jadi Verliany ini cewek lo? WHATS? Lo gak salah pilih cewek? Jangan jangan Verliany dulu’an yang nembak lo. Emang dasar cewek nggak punya malu…” Tanpa rasa bersalah Victor mengayunkan tangan dan mendarat tepat di pipi anak kelas 2F itu. Victor masih tetap diam dan menatap dingin.
“Lo berani nampar gue? Jago banget lo! Jangan mentang-mentang lo ketua OSIS ya! Beraninya cuma sama cewek… Gue pang- gil temen-temen gank gue Mampus Lo,” Victor bersiap meninju Ninta namun terelakkan karena ditahan Reza dan Biaz.
“Vic, jangan Vic. Inget lo itu ketua OSIS..” bisik Reza.
“Tau nih.. udah jangan pikir’in anak ini. Kita orang sibuk masih banyak yang harus dikerjakan. Jangan buang-buang waktu. Mending kita urus’in cewek lo. Kayaknya ketakutan.” Biaz gak sabar narik Victor. Victor dan Ninta masih berpandangan sinis.

“Denger Ya! Ketua Failed Death.. jangan sok belagu gitu deh!!!” sindir Ninta pada Biaz sang ketua. Gak terima pacarnya digitu’in Diyana menyela,
“Belagu lo.. Kesini mau ngelabrak, malah dilabarak. Sama ketua OSIS lagi. Gak tau malu. Pulang kampung aja lo, jualan beras..” teriak Diyana nggak mau kalah. Habis pakai acara ngatain nama grup bandnya siih….

“Elo ngomong lagi, seluruh anak 2A bakal ngelabrak lo..” tukas Victor. Ninta kaget dan mengetahui dirinya sedang di pandangi seluruh anak 2a. Kalo ketua kelas ngomong gitu, bukan gak mungkin Ninta bakal dilabrak sama semua anak 2A.
Langsung Ninta kabur. Anak lain menyorakinya. Verliany me- meluk Diyana. Pacarnya menghampiri. Tau diri, Diyana menyingkir kebangkunya yang ada Biaz dan Reza.
“Ver, kamu gak apa-apa’kan? Gak usah kepancing sama anak nyolot itu.” Verliany memandangi pacarnya dengan berkaca-kaca.
“Ini yang selama ini aku takutin, Vic! Kamu itu ketua OSIS, ketua kelas, anak Paskib, anak KIR, anak PMR, anak Basket, anak voli, anak badminton bisa-bisa seluruh cewek mang naksir kamu bakal ngelabrak aku.”


“Anak mana sih tuh? Nyolot amat. Ngata’in Failed Death lagi.. Gue gak terima harga diri gue sebagai pemimpin..” kata Biaz.
“Harga diri? Sumpeh lo?” ejek ceweknya. Ketiga anak itu tertawa.
“Koq cuma gue ya, yang gak punya ceweq?” Kata Reza sedih. “Kecian amat sih temen gue. Gak laku ya?” sindir Biaz.
“Biaz, Reza itu bukan gak laku. Tapi, gak mau. Lo terlalu pilih-pilih ceweq. Lo lupa kalo fans lo banyak. Lo lupa Cassandra, Izzie, Veny, Andira, Gloria, Anne, Lidya ? dan semua ceweq yang gak bisa gue sebut’in. Semua ngantri jadi ceweq lo.”

“Belom ada yang sreg aja, Diyana…” setelah bicara begitu, V-V mendekat. Dan ikut nimbrung.
“Ada apa nih? Kayaknya gue belom tau berita terbaru neeh..” kata Victor.
“Nggak kok. Kita cuma ngomongin Reza belom dapet cewe..”
“Dasar gak laku,” Verliany mencoba angkat suara.
“Ver, kalo lo bukan ceweknya Vic lo bakal gue tonjok luh..”
“Kalo berani cepet didepan gue. Lo mau nasib kayak Ninta Terjadi sama lo?” tantang Victor setengah becanda dengan teman baiknya. Anak-anak lain tertawa termasuk Vic dan Reza.


Sepulang sekolah, Ellen menunggui kakaknya didepan mobil Reza. Tak lama setelah anak SMU keluar, Verliany menghampiri adik Reza.
“Hai Ellen.. Nunggu kak Reza ya? Tadi kalo gak salah ketoilet bareng Biaz.”
“Tul banget..” Diyana datang menyelonong. Kemudian datang Victor dan menepuk pundak Verliany dan senyum lalu bicara dengan Ellen.
“Lo ikut kita nge-band kan? Ikut aja, biar rame ada lo..” Ellen cuma tersenyum manis. Victor disusul Verliany menaiki mobil Avanza Victor. Diyana menunggu pacarnya dengan ngobrol dengan Ellen.
“Kak, Kak Vic jadian ya sama Kak Ver?”
“Yoa bener banget. Baru jadian kemaren. Tadi aja, ada anak 2F yang dateng ke kelas mau ngelabrak Ver gara-gara deket sama Victor. Soalnya dia gak tau kalo udah jadian. Malah, tadi cewek itu dilabrak sama Victor.”
“Wah, fans kak Vic banyak ya!” tawanya.
“Yoa. Lo tau sendiri, ketua OSIS, ketua Kelas, anak Paskib, pasti banyak yang demen. Tapi kakak lo juga gak kalah. Banyak cewe yang suka dia.”
“Tapi gak laku-laku.” Mereka tertawa. Kemudian, Biaz datang dan memasuki mobilnya yang diikuti oleh Diyana. Tak lama sesudah itu, Reza kakak Ellen datang. Dan mengemudikan mobilnya ke sebu- ah Studio music di Narogong.
Mereka patungan sewa 3 jam. Didalam studio itu ada alat-alat yang memang sudah disiapkan. Dan kelima anak itu duduk ditempat posisinya masing-masing. Vocalnya Victor dan Verliany. Victor juga pegang gitar. Reza pegang gitar dan backing vocal. Biaz dan Diyana bersiap pada posisi mereka.
Reza terlihat mengutak-atik gitarnya sambil terkadang memainkan sebuah kunci.
Ellen sendiri masuk kedalam. Cuma duduk dipojok dan memperhatikan anak-anak itu latihan.
“Kak Ver lagu SP yang welcome to my live dong..”
“Ya udah. Semua siap ya..” kata Biaz memberi komando. Anak-anak tampak konsentrasi. “One.. Two.. three..” katanya. Dan mulai mengalun lagu Simple Plan

Do you ever feel like breaking down?
Do you ever feel out of place..
Like somehow you just don’t belong
And no one understands you

Do you want to run away
Do you look your self in your room
With the radio turned so loud
That no one hears you screaming


Baru bait pertama tiba-tiba Biaz melakukan kesalahan. Dia salah menabuh drum dan pecahlah tawa anak lain. Ellen, Diyana dan Verliany tertawa. Namun anak laki-lakinya marah pada Biaz.
“Reze aja neeh.. Kalo gak bisa serius gak usah latihan…” ancam Reza.
“Nyantai.. slow..” Biaz nge-less.
“Len, beli’in minuman sama cemilan dong!” kata Reza dan membuka tas ransel lalu memberi Ellen uang pecahan lima puluh ribu. Cewek itu tersenyum lalu keluar ruang kedap suara itu. Sementara Ellen itu pergi tak satu pun anak-anak Failed Death yang latihan. Semua pada duduk di bawah sambil ngobrol.
Karena udah biasa ke studio music itu, Ellen tau kalo didepan itu ada warung. Dan menemui pak penjaga warung. Sambil melihat-lihat makanan apa saja yang akan dibeli.


“Teh botolnya 6. Terus.. ngg.. piatos, citatos kacang atom, beng-beng, jet-Z semuanya enam. Terus permennya 20.” Katanya. Penajaga warung itu bingung dengan pesanan anak itu. Saking banyaknya. Dan mulai memasukkan pesanan itu semua ke kresek hitam yang besar.
“Semuanya Rp 35.000,00” katanya. Ellen menyerahkan uang lima puluh ribu. Bapak itu mengembalikan kembaliannya. Ellen lalu meneguk teh botolnya lalu menuju studio music itu.


Memasuki ruang kedap suara itu kelima orang itu nampaknya tidak sabar menyambar makanan itu. Dengan sedikit rebutan mereka mengambil jatah mereka. Seperti anak kecil. Anak-anak ceweq ngetawa’in anak-anak cowok.
“Itu beng-beng gue…....” canda Reza pada Biaz.
“Ngawur…. Gue belom ngambil beng-beng..” anak lain memperhatikan orang itu tidak mengerti? Gitu aja diribut’in. Setelah acara cemilan itu barulah Victor, Biaz dan Reza bisa serius. Dan dengan kedua anak cewek lain mereka latihan berbagai lagu. Seperti the reason-nya hoobastank. In the shadow-nya the rasmus dan holiday-nya green day.
Pukul setengah empat, Verliany mulai mengeluh,
“Eh, balik Yuk! Besok Pr kita’kan banyak. Ada sosiologi, Mat, fisika sama tata boga. Jadi mending kita pulang aja, terus latihannya lain kali..”
“Takut amat lo.. untuk apa ada Victor? Kita tinggal Tanya dia aja. Beres kan?” kata Biaz gak mau pusing-pusing.
“Ya udah.. gimana kalo kita ngumpul terus belajar bareng?” ajak Victor.
“Ya udah dirumah gue aja. Kalo ada waktu kita latihan.” Kata Reza.

“Jam setengah sembilan ya..” setelah perjanjian itu keenam anak itu berpencar lalu menuju mobil mereka masing-masing.Victor dan Verliany menuju mobil Avanza dan kebetulan rumah mereka satu komplek. Di Kemang Pratama. Kalau Biaz dan Diyana naik Honda city ke rumah Diyana di Pondok ungu dan rumah Biaz di Harapan Indah. Reza sudah pasti bareng adeknya.
Di rumah, tante Sara terlihat baru keluar dari mobil baleno-nya. Dan kedua kakak beradik itu tahu dari mana tante mereka. Dari shopping belanja buat Ovelia. Pukul setengah lima kedua anak itu sudah mandi dan nonton tv pada home theater di ruang tamu. Tante Sara mendekati mereka dan Ovelia duduk di pangkuannya sambil bermanja-manja.
“Reza , Ellen, tante mau ngomong hal serius sama kalian.”
“Apa Tan?” Tanya Ellen.
“Kalian masih ingat teman tante yang namanya tante Petra?”
“Reza udah lupa..” jawab Reza dengan malas.
“Ooh, tau.. yang dulu nginep sini’kan yang rambutnya keri- ting sosis, terus putih kurus banget sama tinggi banget. Temen kuliah tante Sara’kan?” Ellen meyakinkan.
“Tul banget.. nah dia’kan baru melahirkan. Tante sama temen-temen tante mau jenguk dia sambil nginep kurang lebih dua hari. Tapi masalahnya, rumahnya di Apartemen, jadi gak boleh bawa hewan..” sebelum melanjutkan, Reza menyela.
“Apa hubungannya coba?”
“Ya jadi, tante gak bisa bawa Ovelia. Nah, giliran kalian Bantu tante jaga Ovelia mudah koq. Baru saja tante membelikan kebutuhan Ovelia. Tinggal kalian merawat dan memandikannya.”
“Maleees..” kata Reza.
“REZA! Tolong tante.” Pinta tante Sara.
“Apa aja yang harus kami lakukan sama Ovelia?” Tanya Ellen.
“Tinggal memberinya makan, sama mengajak bermain sama jangan lupa dielus elus, juga bulu-bulunya harus disisir, kalian harus terus memangkunya—dia baru sembuh dari sakit. Gampang’kan?” Sebelum Reza dan Ellen setuju, tiba-tiba ponsel tante Sara 9210 berdering.
“Eh, Petra.. tenang aja, ini aku mau berangkat jemput Siara, Rheinata sama Natasha. Sebentar lagi berangkat. Ya udah ya Say..”
Tante Sara mengambil tas tangannya menurunkan Ovelia dan menaruhnya di atas sofa. Dan buru-buru,
“Baiklah Reza, Ellen titip Ovelia ya! Uang jajan kalian tante titipkan ke bibi.” Tante Sara segera menuju garasi lalu mengeluarkan mobilnya. Dan meninggalkan tugas mengurus Ovelia ke kepona- kannya.
“Apa-apaan ini?” gerutu Reza.
“Elo sih Len, kayak mau ngurus kucing sialan ini aja. Males tau..”
“Apa kakak gak mau duit 500 ribu. Tante janji akan memberi kita 500 ribu kalo kita bisa jaga Ovelia. Gampang aja’kan? Kasih makan doang?” ujar Ellen.
“Baguslah, kalo gitu lo aja yang urus. Lo kan cewe. Tau cara urus kucing.” Reza hendak meninggalkan adiknya. Ellen gak terima, lalu menarik tangan kakaknya itu.
“Enak aja. Tapi kakak juga mau uangnya juga’kan? Bantu aku dong..”
“Iya, tenang aja, tapi bukan gue yang Bantu lo. Tapi Diyana sama Verliany. Temen-temen gue bakal nginep disini. Makanya mereka yang bakal Bantu lo.” Begitu mendengar penjelasan kakaknya, Ellen langsung senang. Bukan dia aja yang urus kucing jelek itu.
Emang kucing cantik sih.. diimpor dari USA. Bulunya putih besar, hidungnya pesek banget dan gemuk lagi. Imut banget deh. Begitu temen-temen Reza datang—yang heboh itu Verliany dan Diyana. Mereka suka sama hewan imut. Pokoknya mereka yang paling bersemangat mengurus hewan imut itu.
Malam itu Reza dan yang lainnya belajar di ruang teve dengan meja penuh cemilan tentunya. Ovelia mendekati Verliany yang cantik sambil bergolak manja. Kucing impor itu dielus sepenuh hati olehnya. Tinggal kasih makan rupanya perkara mudah.
“Iih… ya ampun, kucing peranakan Belanda pasti imut bangeet…” puji Verliany—yang sedang menggendong Ovelia. Ovelia yang cukup terbiasa dimanja tante Sara—juga tanpa malu-malu bermanja-manja dengan Verliany.
“Iya… bulunya halus banget ya…” puji Diyana. Dia asyik membelai bulu-bulu putih Ovelia. Sementara anak cowo sama sekali nggak mau bergiming—dari cemilan mereka.
Mereka juga tampak ogah mengurusi kucing walau seimut apapun.
“Iih… lucu banget—Rez, tante Sara beli kucing ini dimana sih?” tanya Diyana penasaran dan dengan cekatan tangannya memberi kucing itu makan.
“Ooh…kalo gak salah ngambil di kolong jembatan.” Jawab Reza males-malesan dan terus mencontek hasil pekerjaan Victor.
“Eehh… bohong, Kak… Ovelia ini dibeli impor dari Belanda. Makanannya saja kalau bukan merk mahal—dia nggak bakal mau makan, dan makanannya itu juga impor dari Belanda.” Jelas Ellen yang tiba-tiba muncul membawa senampan penuh makanan dan minuman.
“Pasti makanan kucing itu lebih mahal dari makanan lo, Rez..” canda Biaz. Dan ditanggapi Reza dengan senyum penuh arti. Dan sepertinya mereka jadi berantem—tapi nggak lama.
Reza meminta pada teman-temannya untuk menginap beberapa hari di rumahnya. Mereka setuju, dengan Ovelia sebagai alasan. Namun anak cowok sih gak mikir banget. Beberapa hari kemudian tante Sara datang.


Melihat kucing kesayangannya dirawat dengan baik, dia dengan senang hati memberi keponakannya uang 500 ribu. 500 ribu itu dibagi dua untuk Reza dan Ellen. Namun tetep Reza mendapat persenan. Pokoknya kalo lain kali Tante Sara meminta menjaga Ovelia lagi Reza dengan senang hati akan menjawab, “BERES TANTE..!!!”


(Tamat)

the horsefly

The Horsefly
Sebuah daya tarik


Ada masalah yang dihadapkan oleh Oxi yakni kenyataan yang menyebut dirinya akan tinggal bersama dua orang perempuan. Emang kalo di pikir apa salahnya? Namun itu menjadi masalah dengan Oxi. Dia paling anti sama cewe. Cewe itu aneh baginya—seperti alien.
Fiddy kaget bukan main begitu mendengar penjelasan mengenai keanehan pada diri Oxi—dari kakak tirinya, Ogie. Ogie ialah kakak kandung Oxi. Ogie sih biasa aja dengan mahluk yang namanya cewe. Namun adiknya seperti punya kelainan. Ibunya meninggal ketika melahirkan diri Oxi. Dua hari yang lalu ayahnya menikah dengan ibu Fiddy. Sejak perkawinan—Oxi belum bertemu dengan kakak tirinya.
“Baru denger gue—kalo ada orang yang anti sama cewe.” Ogie ketawa.
“Lo jangan kata’in adek gue. Dia juga jadi adek lo mulai sekarang.” Ogie kemudian pamit mau ke rumah temannya dengan mobilnya. Ayah sedang kerja dab ibunya belanja. Jadi di rumah itu hany ada Fiddy dan seorang pembantu.
Penasaran gue, kayak apa Oxi. Sebenci apa dia sama cewe. Gue jadi pengen ngerjain dia. Hehehe.. Untung dia adek gue. Kata Kak Ogie, Oxi masih duduk di bangku SMP kelas 2 berarti beda 2 tahun dari gue. Sedang kak Ogie sekarang udah duduk di bangku kuliah.
Pintu gerbang seperti dibuka. Ada sebuah motor gede masuk. Itu pasti Oxi. Oxi belum tau muka Fiddy. Maka begitu mereka saling tatap, mereka seperti melihat hantu—saling berdiam diri. “Kamu siapa?” tanya Oxi. Dalam hati Fiddy ketawa-tawa. Aduh, nih anak kayaknya polos bener. Asyik nih gue kerjain. Kita liat aja entar. “Aku ini Fiddy—kakak baru lo. Lo Oxi kan?”
Oxi mengangguk dengan buru-buru dia naik tangga. Fiddy menghardik, “Hei, setidaknya ucapkan salam perkenalan dengan kakakmu ini!” Fiddy tersenyum penug kemenangan. Oxi melirik kakaknya. “Hai.”
“Apa??? Itu aja?” Fiddy bergidik heran. “Lalu apa lagi, Fid?” “Ucapkan ‘hai kakak baruku’ begitu,” dengan terpaksa Oxi melakukan yang diperintahkan kakaknya. Yang bisa dibilang banyak maunya itu.
Oxi naik ke kamarnya. Lalu ganti baju. Dia baru balik dari sekolah. Fiddy beberapa hari ini bolos karena sedang mengurus surat kepindahannya. Jadi dia belum masuk. Dari balik pintu Fiddy melihat Oxi sedang tidur-tiduran di tempat tidur hanya dengan kaus oblong.
“Oxi..” dia masuk lalu duduk di tepi ranjang.
“Ada masalah?” tanya adiknya dingin.
“Nggak penting banget sih.. Tapi gue cuma mau masti’in apa omongan kak Ogie bener. Apa bener lo anti sama cewe?” Oxi diam. Beberapa saat.
“Oxi. Jawab!!” perintahnya.
“..sedikit..” hanya itu.
“Emang kenapa? Cewe itu gak terlalu buruk lho.. Mereka siap denger keluh kesah kamu. Kamu mau cerita—ada apa sebenernya sama diri kamu? Kakak siap untuk denger kok.” Fiddy tersenyum.
Oxi masih terdiam menunduk, “Apa benar cewek mau dengerin curhatan gue?” Fiddy sudah pasti mengangguk yakin. Akhirnya Oxi cerita, “Gini. Gue dilahirin tanpa sempat liat mami. Gue ngerasa gara-gara gue mami meninggal. Lagipula selama ini gue hidup hanya dengan papi dan Ogie. Tanpa wanita. Mungkin dengan kehadiran kamu sama mama baru gue.. Gue akan membiasakan diri.”
“Ok. Kalo ada masalah cerita aja sama gue. Lo pasti selama ini belum punya cewe. Gimana kalo gue kenalin sama temen-temen gue.” Setelah saat itu Oxi mulai terbiasa ngeliat cewe. Dan menganggap kehadiran kakak dan ibu barunya itu anugerah bagi dia.

kakak bermata indah

Kakak Bermata Indah


Ini kisahku, Yuna Felicia ketika berumur sepuluh tahun.
Waktu itu aku jalan-jalan keliling komplek dengan Juna, kakak kembarku. Karena kecerobohanku, kami terpisah. Aku cuma bisa nangis dipinggir jalan. Datanglah seorang kakak baik hati menghibur dan membelikan aku es krim. Tidak lama Juna berhasil menemukanku. Beberapa hari kemudian di taman Persada Blok C, aku bertemu lagi dengan kakak itu. Dia mengenakan seragam SMP, ternyata ia akan menyatakan cinta kepada seorang gadis di taman itu. Gadis itu memiliki rambut yang indah. Lalu sang kakak minta aku untuk menyatakan perasaannya ke gadis itu. Aku datang ke gadis itu dan gadis itu menerima cinta kakak itu. Lalu, aku diberi sebungkus cokelat. Waktu itu aku belum paham soal cinta, aku sih seneng aja karena diberi cokelat. Dan kebodohanku ialah lupa menanyakan nama kakak itu maka aku menamai kakak itu dengan kakak bermata indah. Sebab matanya benar-benar indah.

“Ngelamunin apa?” Tanya Juna ketika sarapan.
“Kakak bermata indah.” Jawab Yuna.
“Kakak yang beliin es krim dan cokelat itu? Yuna, Itu sudah empat tahun yang lalu. Kenapa sih nggak bisa lupa?” Juna memang kakak yang egois.
“Aku cuma mau bilang terima kasih ke kakak itu. Kenapa sih nggak ngertiin?”
“Belum tentu orang itu masih inget kamu.”
“Aku masih inget. Karena dia punya mata dan hati yang indah. Nggak kayak kamu. Walau kembaranku, tapi nggak bisa ngerti perasaanku.” Yuna bergegas pergi.

Hari ini hari pertama Yuna dan Juna di SMP. Sesaat setelah sampai di sekolah, Yuna pergi ke kamar mandi di kantin. Saat keluar dari kamar mandi, ada laki-laki yang sama-sama baru keluar dari kamar mandi laki-laki. Dia memiliki mata yang indah. Tapi ia bukan anak SMP karena tak berseragam.
“Hei.” Panggil cowok itu. Yuna merasa sungguh tersanjung karena laki-laki itu memanngilnya. Yuna memberanikan diri untuk menengok ke arahnya. Laki-laki itu mendekati Yuna. Dalam hati Yuna berkata, ‘Oh Juna. Tolong. Saudara kembarmu ini bakal mati mendadak detik ini juga.’
“Kenapa rambut kamu digerai? Apa kamu nggak tahu peraturan sekolah bahwa siswi SMP yang berambut panjang dan digerai akan diskorsing tiga hari.” dia mengeluarkan sesuatu. “Ini pakai aja. Punya adikku.” dia mengeluarkan sebuah pita.
“Makasih, Kak. Aku nggak tahu karena ini hari pertamaku.” Jawab Yuna.
“Ooh. Selamat menikmati masa SMP ya, Dik.”
“Nama kakak?” dia keburu hilang dari pandangan mata. Iih Yuna bodoh.

Ketika istirahat Yuna menuju kantin, pikirannya masih menerawang pada kakak yang ditemuinya di kamar mandi pagi tadi. Karena itu setelah makan Yuna ke kamar mandi tempat pertemuan pertamanya dengan kakak itu. Dan benar saja. Lagi-lagi kakak itu berada di kamar mandi.
“Kakak? Kakak yang tadi meminjamkan aku kunciran rambut, Kan?” sapaku.
“Iya. Kamu nggak diskors, Kan?” Yuna menggeleng. Lalu Yuna nggak mau melakukan kesalahan untuk kedua kalinya.
“Nama Kakak siapa?”
“Melvin. Kalau kamu?” pria yang bernama Melvin itu mengulurkan tangannya. Yuna langsung membalas uluran tangan kak Melvin itu.
“Aku Yuna, Kak.” Setelah itu mereka ngobrol sebentar di kantin Dan disaat itulah Yuna menjadi lebih kenal dan akrab dengan Melvin. ‘Gue rasa gue nggak akan bisa tidur malam ini.’ Pikir Yuna dalam hati.
“Kak Melvin ada urusan apa ke sekolah ini?” Tanya Yuna.
“Lagi ngurus acara reunian angkatan gue.” Jawabnya ramah. Yuna menjadi kenal sosok Melvin. Semenjak pertemuan itu, Melvin jadi lebih sering ke sekolah hanya untuk mengantar dan menjemput Yuna. Dan kini usia persahabatan mereka menginjak satu bulan. Hampir setiap waktu Melvin menghubungi Yuna melalui ponsel hanya untuk bersenda gurau dan membicarakan hal-hal nggak penting. Namun itu terasa amat penting bagi Yuna yang menyukai Melvin.
Hari ini seusai sekolah Melvin menjemput Yuna menuju rumah Melvin yang letaknya berdekatan dengan komplek rumah Yuna. Melvin menjanjikan Yuna akan dikenalkan dengan adik Melvin yang bernama Melvy. Namun, Melvin sempat memperingatkan bahwa adik Melvin yang bernama Melvy itu orangnya cukup ketus pada orang yang baru dikenalnya.
Akhirnya rumah Melvin yang cukup besar itu berada di hadapan Yuna.
Melvin mempersilahkan Yuna untuk duduk dan ia pergi ke dapur menyiapkan minuman. Nggak lama, muncullah Melvy gadis yang usianya sama dengan Yuna. Wajahnya cantik tapi sepertinya nggak ramah. Melvin sempat bercerita bahwa Melvy home schooling karena penyakit yang ia derita.
Gadis itu duduk berhadapan dengan Yuna dengan tatapan tak bersahabat.
“Jadi lo Yuna..” katanya ketus.
“Iya. Kamu Melvy ya. Kak Melvin sering cerita tentang kamu,” kata Yuna mencoba ramah sambil mengulurkan tangan. Tapi Melvy tidak mau membalas salam itu. Ia justru acuh tak acuh dan ngeloyor pergi.
Melvin muncul dengan baki penuh makanan.
“Udah ketemu Melvy ya? Sorry, dia emang ketus.” Katanya dan mempersilahkan minum. Mereka pun ngobrol tentang keluarga mereka masing-masing. Dan Yuna ngelihat foto keluarga Melvin. Ayah dan ibu Melvin, dan ketiga anaknya, Melvin dan dua adik perempuannya. Melvy ternyata memiliki saudara kembar.
“Kakak punya dua adik?” Yuna bertanya.
“Iya. Gadis yang duduk di kanan kakak itu Melva. Dia kembaran Melvy. Melva sudah meninggal dua tahun yang lalu karena penyakitnya.” Jawab Melvin dengan wajah sedih. Yuna menjadi paham mengapa Melvy bersikap ketus.
“Ooh maaf. Apa penyakit Melva dan penyakit Melvy sama?”
“Iya sama. Penyakit yang sering diderita pada anak kembar. Hanya saja, kondisi Melva sedari kecil lemah.” Obrolan itu hanyut dalam kesedihan.
Setelah memandang wajah Melvin di foto itu, tidak berbeda jauh sih dengan yang sekarang, sama tampan dan dari raut wajahnya menunjukkan kedamaian. Sepertinya Yuna mengenal orang yang di foto itu. Ia berusaha mengingat. Astaga.
Orang yang ada di foto itu, itu kakak bermata indah.
Tubuh Yuna serasa kejang. Melvin merasakan keanehan pada diri Yuna. Lalu, dia mulai memegang tangannya dan menanyakan ada apa sebenarnya dengan Yuna.
“Apa empat tahun yang lalu Kakak pernah menyatakan cinta pada seorang gadis yang berambut indah di taman Persada blok C?” tanyanya, Melvin mengingat-ingat sebentar. Butuh beberapa detik untuk mengingat kejadian empat tahun yang lalu itu.
“Iya. Yuna memang kenal Olin?” Tanyanya. Gadis itu hanya tersenyum kikuk, ia sama sekali nggak mengenal orang yang namanya Olin. Dan hanya menjawab, “Aku nggak kenal Olin, Hanya saja aku gadis kecil yang membantu kakak nembak Olin dengan memberi dia sebuah bunga dan kakak memberi aku cokelat sebagai balasan.” Jawabnya. Yuna sama sekali nggak menyangka akan bertemu kakak bermata indah bahkan orang itu berada di hadapannya. Melvin yang dihadapan Yuna memang memiliki mata yang indah.
“Apa? Jadi gadis kecil yang menangis karena kehilangan kakak kembarnya, gadis kecil yang bantu kakak nembak Olin, itu kamu? Gadis yang sekarang bukan kecil lagi, tapi setiap kita bertemu selalu di kamar mandi?” Melvin juga nampak nggak percaya. Dan mereka tertawa renyah.
“Olin masih jadi pacar Kakak sekarang?”
“Nggak. Kami putus dua tahun yang lalu.”
Dan ada hal aneh lagi, ternyata cara Melvin bertemu Olin sama persis dengan cara bertemu Melvin dengan Yuna. Melvin pertama kali bertemu Olin di kamar mandi kantin, yang sama-sama baru keluar dari kamar mandi, dan saat itu Olin juga menggerai rambutnya. Dan Melvin memberikan karet punya adiknya untuk Olin. Dan, peristiwa Melvin nembak Olin di taman Persada Blok C dibantu oleh gadis kecil yakni Yuna Felicia, dunia memang sempit.
Ketika Melvin dan Olin masih berpacaran, mereka disebut-sebut sebagai pasangan terharmonis dan tercocok. Melvin, laki-laki tampan dan bermata indah dan Olin, gadis berambut indah dan pintar. Itu sempat membuat Yuna merasa iri. Yuna masih tidak percaya bahwa ia telah dipertemukan dengan kakak bermata indah yang hampir empat tahun ini membuatnya penasaran. Seperti mimpi yang dikabulkan. Melvin pun bercerita bahwa Melvy dan Melva (yang saat itu masih hidup) sudah sangat cocok dengan Olin. Buat Yuna peristiwa ketika ia terpisah oleh Juna dan juga peristiwa Melvin memberikan es krim dan cokelat pada Yuna merupakan hal termanis dalam hidupnya.
Tak terasa waktulah yang memisahkan mereka. Akhirnya Yuna pulang diantar Melvin. Dari atas terlihat Melvy di beranda menunjukkan wajah masamnya dan memalingkan wajah.
Keesokan harinya Yuna merasakan ada suatu keanehan. Seharian Melvin tidak menelepon atau ke sekolah untuk menjemput Yuna seperti biasa. Bahkan Yuna sempat berpikir Melvin menjauhi dirinya karena penolakan Melvy terhadapnya.
Esok harinya pun belum berubah.
Juna merasakan keanehan pada diri saudara kembarnya itu. Walau Juna amat jarang berbicara, namun sesungguhnya hatinya amat peka mengenai yang sedang di alami Yuna. Maka ketika istirahat ia bertanya, “Kamu aneh sekali, Yuna. Apa ada hubungannya sama Melvin?” Juna kemudian duduk disamping Yuna.
“Iya. Dari kemarin Kak Melvin nggak menghubungiku. Hari ini juga,” Jawabnya.
“Mungkin dia lagi nggak punya pulsa dan lupa kasih kabar. Jangan negative thingking dahulu. Dia kan kakak bermata indah lo. Sekarang kamu tenang saja,” senyumnya lembut. Kata-kata Juna begitu melegakan. Walau Juna itu pendiam dia benar-benar kakak yang baik dan perhatian.
Esok hari sehabis pulang sekolah, Melvin menghubungi Yuna.
“Kak Melvin, kenapa sih, dua hari ini nggak menghubungi aku? Aku khawatir sama Kakak.” Yuna langsung membuka pembicaraan.
“Maaf. Dua hari ini Kakak sakit..” jawabnya, suaranya terdengar sedikit parau. Sepertinya dia benar-benar sakit. Beban Yuna kini mulai berkurang.
“Kakak sakit apa? Yuna mau jenguk Kakak,”
“Nggak usah. Kak Melvin sudah baikan. Kakak cuma mau satu hal dari Yuna.” ujarnya. Kata-kata Melvin terdengar amat serius.
“Sekarang Yuna datang ke taman Persada Blok C ya..” katanya. Tiba-tiba telpon terputus. Yuna tersentak. Saat mencoba menghubungi balik namun justru mail box. Taman Persada Blok C Itu tempat kak Melvin nembak Olin.
Di taman cukup ramai karena hari sudah sore. Disana tidak terlihat batang hidung Melvin. Kira-kira tiga puluh menit Yuna menunggu Melvin di tempat itu. Kalau bukan karena Kak Melvin orang yang selama empat tahun ini dia cari karena dia yang telah menolongnya waktu tersasar, mana mungkin Yuna mau nunggu selama itu.
Tetapi, sirna sudah rasa kesal Yuna. Karena kemuncul seikat bunga mawar putih dari belakang Yuna. Dan benar saja, orang itu Melvin. Yuna memasang senyum termanisnya. Melvin membalas senyum. Yuna menerima bunga mawar putih itu. Wajah Melvin pucat seperti sedang sakit.
“Kakak nampak sakit, kenapa memaksa untuk kemari?”
“.. karena aku belum tentu bisa melakukan hal ini lain hari..” jawaban penuh misteri. Yuna tak paham maksudnya.
“Apa maksud kakak?” Yuna bingung, “….bukan apa-apa….” Dia tersenyum lagi.
“Yuna, Kakak suka Yuna. Apa Yuna merasakan apa yang kakak rasakan?”
Dia benar-benar mengatakan. Dia sungguh-sungguh menyatakannya. Seperti mimpi, inilah yang aku mau sejak lama. Kak Melvin menyukaiku. Karena malu super sangat, Yuna sampai nggak sadar membelakangi Kak Melvin. Gumam Yuna.
“Iya. Yuna juga sayang kakak..” Yuna menoleh kebelakang.
Tapi secepat kilat Melvin sudah tidak berada di Taman Persada Blok C itu. Yuna panik dan berusaha menemukan kakak bermata indah namun nihil hasilnya. Maka Yuna memutuskan untuk pulang.
Di rumah Yuna menceritakan hal itu pada saudara kembarnya. Juna berusaha sesabar mungkin mendengarkan seluruh curahan hati Yuna. Juna berusaha menjadi kakak yang baik. Yuna pun memeluk Juna sebagai tanda terima kasih atas perhatiannya. Juna berjanji membantu Yuna menyelesaikan permasalahan misterius itu.
“Apa besok kita ke rumah cowokmu itu?” Tanya Juna.
“Nggak ah. Aku segan sama adiknya Melvin. Dia nggak suka sama aku, Melvy lebih menyukai Melvin berpacaran dengan Olin.” jawab Yuna. “Gimana kalau besok kita ke rumah mantannya Melvin si Olin itu,” saran Juna.
“Buat apa?”
“Mungkin Olin mengetahui kepergian Melvin secara mendadak itu,” jawab Juna.
“Ya sudah. Besok temenin ke rumah Olin, ya.” Juna mengangguk. Yuna memang sempat menanyakan alamat rumah Olin dari Melvin.

Keesokan harinya ialah hari Minggu. Si kembar berjanji akan ke rumah Olin pukul empat sore. Dan kini rumah Olin telah ada di hadapan mereka. Si kembar masuk ke rumah itu. Ternyata yang membukakan pintu pembantu Olin. Ia mengatakan Olin sedang pergi sebentar lagi akan pulang. Si kembar di persilahkan menunggu di ruang tamu. Mereka benar-benar merasa tidak enak. Kenal dengan sang empunya rumah juga tidak.
Lima belas menit kemudian terdengar suara deru mobil dari luar. Yang datang ialah gadis yang benar-benar manis. Rambutnya panjang dan menjuntai indah. Namun saat itu ia mengenakan pakaian serba hitam sehingga kecantikkannya tidak memancar. Ia nampak seperti baru pulang dari pemakaman.
Olin memandangi mereka seperti orang asing.
“Apa gue pernah kenal kalian sebelumnya?” tanyanya tidak terlalu ramah.
“Kamu Olin?” Tanya Yuna memberanikan diri.
“Ya iya lah. Udah deh sekarang cepat kasih tahu urusan lo berdua sama gue. Gue lagi sedih sekarang..” jawabnya ketus namun ditutupi.
“Olin masih inget sama Melvin?” Tanya Yuna. Dibalas dengan anggukan.
“Olin masih inget nggak dengan gadis kecil yang empat tahun lalu membantu Melvin untuk menyatakan perasaannya sama Olin di taman Persada Blok C?” wajah Olin yang oriental itu mencoba mengingat, “Oh iya. Emang kenapa?”
“Gadis kecil itu aku. Dan aku kemarin ditembak oleh Melvin, tetapi anehnya saat aku mau menjawab Melvin langsung hilang seketika bagai ditelan bumi…”
Tampang Olin berubah menjadi seperti shock. Bahkan teramat shock.
“APA? Melvin nembak lo kemarin?” gue mengangguk.
“NGGAK MUNGKIN..” teriak Olin yang cantik itu.
“Aku nggak berbohong. Kemarin Melvin menyatakan perasaannya di taman Persada Blok C. Tempat yang sama saat menembak Kak Olin empat tahun yang lalu.”
“Nggak mungkin!” Teriak Olin semakin keras.
“..nggak mungkin kenapa..” gue merinding saat itu juga.
“Sejak tiga hari yang lalu Melvin masuk rumah sakit kecelakaan sehabis mengantar pulang temannya yang habis main ke rumahnya. Lalu ia meninggal kemarin. Mana mungkin dia bisa ke taman Persada..” teriak Olin menangis.
“Hah? Meninggal? Kemarin dia sungguh-sungguh datang dan memberiku mawar putih,” jawab Yuna yang juga ikutan shock dengar pengakuan Olin.
“Dan gue sungguh-sungguh melihat Melvin meninggal. Kalian tahu gue baru pulang dari pemakaman Melvin. Dia meninggal kemarin dan dikuburkan hari ini..”
Astaga.
Lalu, kemarin, siapa yang kulihat, siapa yang menelponku, siapa yang memberikan aku bunga? Yuna langsung menangis di pelukan saudara kembarnya. Melvin meninggal. Tiba-tiba Olin memegang tangan Yuna
“Kemarin lo benar-benar bertemu dengan Melvin?” Yuna mengangguk lemas.
“Terus itu siapa,” katanya pelan. Sepertinya sendi-sendi di tubuhnya berhenti berfungsi. Bahkan nafas pun tersengal-sengal.
“Itu benar-benar Melvin, Yuna..” kata Olin. Darimana dia tahu namaku,
“Kau tahu namaku,” dia menjawab, “Dari Melvy, tadi aku bertemu di pemakaman, dia tampak amat terpukul. Melvy sudah pernah kehilangan saudara kembarnya dan kini kakaknya meninggal. Melvy sebenarnya nggak suka sama kamu. Dia lebih suka kalau akulah yang menjadi pacar Melvin. Kemudian dia bilang kalau Melvin kecelakaan setelah mengantarmu pulang.” Yuna shock berat. Melvin meninggal karena mengantarnya pulang. Yuna menangis sekeras-kerasnya, tidak peduli di rumah orang yang baru dikenalnya. Olin mendekati Yuna dan memeluknya serta menghibur.
“Kenapa Melvin tetap menyatakan perasaannya pada Yuna?” tanya Juna.
“Mungkin itu yang disebut ‘the power of love’, ‘kekuatan cinta’, walaupun telah berbeda dunia, kekuatan cinta Melvin pada Yunalah yang membuat Melvin tetap mengatakan perasaannya pada Yuna. Walau ia tahu ia tidak akan pernah bisa memiliki Yuna.” Olin menyatakan hipotesanya.
Jadi Kak Melvin sungguh-sungguh mencintaiku. Terima kasih Kak Melvin, terimakasih. Semoga kakak bahagia disana. Yuna juga sayang kakak. Kata Yuna dalam hati. Saat itulah timbul rasa bangkit dalam dirinya.
Yuna melepaskan pelukkan Olin dan menghapus air mata yang tersisa. Dan Yuna berkata pada Olin, “Terima kasih, Kak Olin. Aku sudah sadar Kak Melvin memang benar-benar menyayangiku. Makanya, aku nggak boleh nangis. Boleh aku tahu dimana makam Kak Melvin?”
“Di TPU Prima Persada.” Jawabnya sambil tersenyum manis. Pantas Kak Melvin pernah memilihnya untuk dijadikan pacar. Ujar Yuna dalam hati.
Yuna bangkit berdiri, “Jun kita pulang, Yuk. Kak Olin kan sekarang lagi bersedih, kita jangan ganggu dia. Biarkan dia sendiri,” Yuna menarik tangan Juna untuk pulang.
Si kembar pamit pulang. Mungkin setelah kepergian mereka Olin juga menangis karena mantannya bernasib tragis. Sepanjang perjalanan pulang pun Yuna terus memeluk punggung Juna dan menangis tanpa henti. Untunglah ada Juna yang setia menjadi bahu untuk tempat Yuna menangis.
Keesokannya mereka ke makam Melvin. Si kembar menemukannya, mereka berdoa agar ia tenang disana. Dan Yuna berjanji akan menjaga the power of love pemberian Kak Melvin, kakak bermata indah.


TAMAT

white house

White House



Siang-siang begini emang paling enak makan es krim. Begitulah yang ada di pikiran Fransisca Jovinky. Atau disapa Siska. Dan memutuskan memilih es krim conello cup mocaflape. Secepat kilat ia meninggalkan kamarnya dan menuruni tangga dan menuju ruang tamu yang ada adiknya serta kakaknya.
“Koko, mau es krim gak?” katanya dan duduk di sebelah kakaknya. Adiknya menyela.
“Cici, aku kok gak di tawar’in?” Omel Ferry Jovinky adiknya.
“Emang lo mau es apa?” Tanya kakaknya. Nama kakaknya Derrek Jovinky. Dan disapa Dery. Koko yang sempurna serta baik dan sayang dengan kedua adiknya.
“Aku conello cup mocaflape….” Senyumnya penuh harap. Dery emang terkenal baik ama adenya mengeluarkan dompet dari saku belakang. Dan mengambil uang pecahan dua puluh ribu. Dan menyerahkannya ke Siska.
“Nih, sekalian beli’in untuk Metha sama Malvin. Mereka lagi berenang di belakang,” Siska tidak menjawab dan menarik tangan adiknya yang lucu itu.
“Kok gue ikut sih? Emang gak bisa beli ke warung sendiri?”
“Elo yang nyetir motor. Gue gak enak ke warung Kenny, tau..” Ferry bisa diem aja. Karena cicinya lagi naksir berat sama Kenny. Anak pemilik warung di komplek itu.


*******


Derrek Jovinky yang sedang mendengarkan iPod menuju kolam renang belakang. Dan mendekati dua orang sepupunya yang lagi istirahat. Metha dan Malvin.
“Emang lo berdua gila ya? Berenang sepanas ini?” sapanya Metha mengoleskan sebotol lotion kekulit putihnya. Malvin yang menjawab.
“Der, sekarang panas banget.” Keluhnya.
“Siska sama Ferry udah gua suruh beli es krim,”
“Wah, enak tuh’ thanks ya, Der… Baek banget lo.Gua sayang elo,” Metha dengan tidak ragu mencium pipi sepupunya. Metha emang paling suka ‘gratisan’ . Tanpa dirasa dan diduga Malvin bicara serius dengan Dery.
“Der, elo udah denger belom , kalo Jefrey bakal balik ke Jakarta?”
Muka Dery merah padam.
“JEFREY?”



*******


Di toko Kenny sedang sepi. Siska perlahan memasukinya dan seolah-olah mencari adakah orang di toko itu. Dan seorang cewek cantik mendatangi nya. Itu Cici Kenny yang seangkatan dengan Dery, tapi beda jurusan.
“Eh, Siska. Mau beli apa, Sis?” ujar Vera ramah.
“Es krim, Ci..” Ucapnya karena mengenal namanya Cici itu Vera. Cici Vera membukakan kotak yang besar itu. Siska mencari-cari es krim untuk mereka berlima. Sebelum puas memilih, cici itu berkata,
“Sis, Cici lagi masak. Tunggu ya, nanti Cici suruh Kenny kemari,” Siska mengangguk senang. Dan berharap tidak sedang bermimpi. Dan benar, Kenny datang. Dengan muka kusutnya. Sepertinya habis bangun tidur. Terus dibangunkan kakaknya. Dengan wajah malas melihat teman sekolahnya, cowo cakep itu duduk ditepi warung yang luas.
“Cepet sana beli. Biar gua cepet tidur,” katanya kasar. Siska jadi bete. Masa’ itu jawabannya. Emang gak tau kalo pembeli itu raja? “Iya sebentar. Adek gue juga gak sabar nunggu kok.”
“Brapa?” Tanya Siska yang jadi sama betenya.
“Gak tau. Lo beli berapa es? Emang lo gak bisa liat, di papan itu’kan ada label harganya. Jadi… jangan tanya gue..” Kenny saat itu menjadi sangat menyebalkan.

Siska yang tampaknya udah ill feel berat segera menarik napas menenangkan diri agar tidak marah pada teman sekelasnya itu. Dan berkata,
“Kenny, disini penjualnya elo. Jadi..” , Kenny menyela.
“Iya..iya.. lima belas ribu..” katanya seraya menguap. Untuk menyudahi pembicaraan itu, Siska menyerahkan uang pas dan tanpa bicara terima kasih meninggalkan toko besar itu.
Di luar, Ferry melihat cicinya mendatanginya dengan muka pucat. Biasanya abis dari toko Kenny, Siska pulang dengan mata berbinar-binar.
“Ci, elo kenapa? Abis lihat setan?” tanyanya dan menyalakan mesin motor.
“Diem. Cepet jalan,” Ferry berdiam tanpa bicara hingga rumah. Dan sepertinya ia dapat membayangkan apa yang sebenarnya terjadi.



*******

Di rumah, Siska dan Ferry menuju ruang tamu, karena melihat Dery gak ada, maka ia ke kolam renang belakang. Dan benar dilihatnya Dery, Malvin sama Metha ada disana.
Diberikannya bungkusan itu. Semua menikmati es dengan nikmat. Bayangkan, panas-panas minum es, uuh.. so pasti seger. Namun, Siska mengamati kokonya Dery tidak menikmati esnya seperti anak lain.
“Koko, kenapa sih?” tanyanya sembari mendekati kokonya yang duduk ditepi kolam. Metha dan Malvin yang sudah berganti pakaian saling berpandangan. Dery masih terdiam menatap lantai.
“Sebenarnya kenapa?” Siska semakin heran dan makin memandangi kokonya itu. Justru, Dery bangkit dan berkata,

“Gak ada apa-apa kok..” katanya dan memutuskan untuk meninggalkan adik-adiknya. Ferry dan cicinya berpandangan. Dan mereka berdua memandangi Malvin. Malvin yang terkenal serius namun baik itu segera tau arah pembicara annya.

“Jefrey bakal balik.” Ucapnya datar. Sama seperti Dery waktu mendengar pembicaraan itu, mata Ferry dan Siska terbelak.
“Jef.. Jefrey?” Jefrey itu kakak kembar Dery. Mereka sama sekali gak mirip. Mereka gak pernah akrab.
Jefrey terkenal berandal, ngerokok, gak mau denger’in omong an orang lain. Sedang Dery terkenal baik, pemurah, pinter dan sayang adik-adik nya. Sekitar dua tahun yang lalu, ia dititipkan rumah nenek mereka di Palem bang.
Tidak ada satupun adik Jefrey yang merindukannya. Termasuk kembarannya. Dery justru senang tidak ada Jefrey. Bahkan sekitar dua tahun yang lalu, Dery dan Jefrey masih di SMU yang sama. Dan menyukai seorang cewek yang sama. Akibatnya mereka berantem. Dan Dery sempat di opname tiga minggu gara-gara kena pisau Jefrey. Mungkin gara-gara ‘cewek itu’ mereka dipisahkan. Jefrey di Palembang dan Dery di Jakarta.
Siska, Ferry, Metha, dan Malvin kini seperti tidak dapat merasakan kesegaran es krim itu lagi.
“Gue masih inget, waktu Jef nusuk pisau ke perut koko Dery di depan mata gue..” Ucap Ferry yang sedang berkaca-kaca. Siska mengingatnya jadi menangis dan memeluk adiknya.

“Iya.. Jef emang brengsek. Gue gak suka dia balik. Itu akan bikin koko Dery inget masa lalunya. Kenapa sih, nenek mulangin Jef? Mungkin nenek udah kewalahan ngurus dia..” dan air mata Siska menetes deras.
“Emang kenapa harus sekarang? Seminggu lagi’kan ulang tahunnya Dery… dan ulang tahunnya juga.…” Kata Metha dengan mata berapi-api dan berdiri sambil mengelap rambut merahnya yang basah.
“Lo mo’ kemana?” Tanya Malvin. Metha tidak menjawab.
Perlahan, Metha membuka pintu kamar Dery. Dan dilihatnya, Dery sedang main Xian di komputernya. Langsung, Metha mengambil kursi dan duduk tepat disebelahnya.
“Ko…”
“Kembaran lo tau dari mana sih’ Jefrey bakal balik?” tanyanya serius.
“Sebenernya, bukan Malvin aja kok yang denger. Gue juga denger Jef bakal balik dari nyokap bokap waktu ngomong sama Oom sama tante (orang tua Dery).” Sekitar semenit Dery dengan sepupunya terdiam. Dan setelah itu ia berkata dengan penuh amarah,
“Sekarang gue pengen liat, kaya apa Jefrey sekarang,” Metha menatap koko yang disayanginya dengan penuh rasa ngeri.



*******


Tepat sore harinya saat Dery serta Ferry sedang pergi ke Mall Kelapa Gading, Sebuah taksi berhenti di depan big house-nya Siska. Seorang pembantu Siska membukakan pintu. Cewek itu pun keluar melihat siapa yang datang. Tidak mungkin orang tuanya. Sebab biasanya pulang malam.
“Hah? Jefrey…” dari balik jendela Siska tidak percaya dengan penglihatannya. Yang dilihatnya adalah cowok cakep yang berbeda jauh dengan Jef saat terakhir kali meninggalkan rumah dua tahun yang lalu. Pemuda yang dilihatnya adalah pemuda yang tampangnya ramah dan sama sekali ada tampang preman.

Namun Siska yakin sekali yang dilihatnya adalah Jefrey yang dulu sering ‘main tangan’ dengan Dery. Yang dulu ngerokok, yang dulu mukanya sangat menjijikkan. Dan nampaknya sangat berubah drastis.
Ketika memasuki rumah aslinya, ia langsung bersua dengan adiknya, Siska. Mereka berdua saling bertatap aneh. Siska memandangi kokonya dengan tampang curiga. Dan Jef memandangi adiknya dengan tampang bahagia. Langsung Jef memeluk adiknya itu.
“Siska, sekarang elo udah gede ya, udah kelas dua ya…” Siska merasa amat aneh, dan melepas pelukkan kokonya itu. Kokonya jadi merasa aneh.
“Elo , Jef kan?” tanyanya aneh.
“Iya, apa elo lupa ama koko lo?” tanyanya.
Sejak pertemuannya itu, Siska jadi yakin bahwa Jef sudah berubah total. Saat ini Siska sedang di kamar Jef yang sedang membenahi barang-barang di kopernya untuk di masukkan ke lemari.
“Jef, kok elo berubah banget. Emang apa yang terjadi di Palembang?” Sambil membenahi barang-barangnya ia menjawab.
“Nggak. Nggak ada apa-apa. Cuma gue merasa udah sangat berdosa sama ade kembar gue. Udah sering nampar dia, sering berantem sama dia. Bahkan yang terakhir, gue bikin dia di operasi..” Pikirannya menerawang.
“Yang terjadi biarkan berlalu. Gue yakin koko Dery udah ngelupa’in semua. Dia’kan gak punya sifat pendendam..” katanya meyakinkan. Metha dan Malvin sudah mendengar semua dari Siska. Dan sedari sore, si kembar itu udah bersama Siska dan Jef di halaman belakang udah becanda seperti biasanya.
Kira-kira pukul setengah sembilan, telepon berdering, bi Narsih yang mengangkat. Setelah menutup telepon ia menuju belakang rumah.
“Non Siska, tadi Ibu yang telpon. Kata Ibu sama Bapak hari ini ada lembur. Pulangnya besok.” Katanya dengan gaya jawa medhok.
“Iya, bi..” kata Siska.
“Siska, gue udah cape. Tadi di pesawat gak bisa tidur. Gue tidur dulu, ya…kalo Dery udah dateng, sampe’in salam gue.” Katanya dan memasuki dalam rumah.
“Iya…” kata Siska.
“Sis, gimana kalo koko Dery dateng? Kita harus bisa jelas’in sama Dery kalo kembarannya udah berubah. Dan bilang sama dia untuk ngelupa’in semua perbuatan Jef selama ini.” Saran Malvin.
“Betul… sih, tapi menurut gue, Dery bakal cepet maaf’in Jef, soalnya dia kan baik, pemaaf, pokoknya koko terbaik yang pernah gue temuin.” Tambah Metha.
“Ooh, jadi gue bukan koko yang baik?” sindir Malvin.
“Bukan.. tapi..” sela Metha dan si kembar melihat Siska meninggalkan mereka.
“Siska kenapa?” Tanya cewek itu pada kembarannya. Malvin mengangkat bahu tanda tidak tahu.
Sekitar pukul sepuluh, Metha dan Malvin sudah pulang. Dan mobil Toyota Vios milik Dery sudah datang. Mereka berdua masih belum tahu kalau si bengis Jef sudah pulang. Siska sengaja tidak tidur untuk bicara dengan kokonya. Ferry sudah keburu naik ke kamar karena sudah ngantuk.
“Ko, Jef udah sampe..” ucap Siska datar dan bersiap menerima kekagetan Dery yang mendengar kabar itu. Namun dugaannya salah, ia mengira Dery bakal marah. Tapi ia tenang-tenang aja. Masih seperti biasa dan tidak ada kekagetan pada mukanya. Dan hanya berkata,
“Ooh. Dimana dia?” tanyanya.
“Di kamar tamu lantai satu. Katanya udah capek. Di pesawat gak bisa tidur.” Katanya. Dan melihat kokonya tidak mendengarkannya justru menuju kamar tamu yang diberitahukan olehnya. Siska yakin bahwa kokonya akan bersikap terbaik pada Jef, musuh masa lalunya.



*******


Dery menuju kamar tamu yang ditunjukkan oleh Siska. Perlahan ia membuka pintu dan menyalakan lampu. Dilihatnya seseorang tidur di ranjang sambil memeluk guling. Yang hanya mengenakan kaos dalam. Yang bukan lain orang yang lahir berbeda tiga menit lebih cepat dengannya.
Dipandanginya orang itu. Ternyata berbeda dengan dugaannya selama ini. Yang menyangka bahwa Jefrey akan datang sama seperti dua tahun yang lalu dan tidak ada perubahan yang berarti.

Namun berbeda. Jefrey yang ada didepannya adalah pria yang sama sekali tidak ada tampang jahat. Kini lebih bersih, mukanya cerah tidak hampa dan kelihatan lebih putih dan mungkin tambah ganteng.
Tanpa dibangunkan, Jefrey terbangun. Mungkin terganggu adanya lampu lampu yang menyala. Dan Jefrey tidak kaget kembarannya itu dihadapannya. Dery belum bicara sejak masuk. Jefrey memahami mungkin Dery belum memaafkannya. Maka ia yakin bahwa dialah yang harus mengawali pembicaraan.

“Der.. Ngg.. mungkin Siska atau Ferry udah cerita..” katanya dan Jef kehabisan kata-kata
“gue..gue..gue mau minta maaf,” lanjutnya dengan menunduk.
Dery duduk ditepi ranjang dan menatap dengan tajam.
“Gue gak sangka, Jef, elo berubah total. Gue udah ngelupa’in perbuatan lo sama gue. Gue seneng lo udah berubah. Siapa yang buat lo berubah?” tanyanya dengan tatapan yang makin lama makin tenang.
“Gak ada siapa-siapa. Siska juga Tanya begitu. Gue nyesel aja, waktu di Palembang kayanya ada yang kurang. Yaitu, gak ada elo. Gak ada yang bisa gue ajak berantem.. ha.. ha.. ha..” lepaslah canda mereka. Yang hampir tidak pernah dilihat selama ini.
“Der, bener elo udah ngelupa’in perbuatan gue?” tanyanya.
Dery mengangguk yakin. Dan kata Jefrey,
“Tapi, masih ada sesuatu yang membekas dari semua perbuatan gue…” katanya. Dan mukanya berubah jadi sedih lagi.
“Apa?” Tanya Dery heran.
“Luka jahitan di perut lo yang kena tusukan gue…”
“Nggak, Nggak, gak apa apa kok.” Balas Dery disertai tawa.
Mereka diam sejenak. Entah memikirkan apa,
mungkin memikirkan luka itu atau hari ulang tahun
mereka seminggu lagi. Dan Jefrey bertanya,



“Eh, seminggu lagi kita ulang tahun, mau diraya’in kemana?” Tanya Jef. Dery seperti sedang berpikir. Tidak lama berselang, Siska dan Ferry memasuki kamar itu. Dan sepertinya, dilihat dari mukanya, mereka udah tau arah pembicaraan. Dan sepertinya mereka menguping pembicaraan si kembar.
“Gimana kalo kita Ke TA. Kan asyik, sekali-kali yang jauh sekalian,” Ia yakin benar kalau Dery setuju sebab Dery’kan koko yang baik.
“Kalian nguping ya?” bentak Dery setengah marah. Siska dan Ferry hanya saling tatap dan tertawa renyah. Dery dan Jef tertawa kecil. Siska dan Ferry mendekati ranjang.
“Kalian mau kado apa?” Tanya Siska.
“Tapi jangan yang mahal-mahal ya, soalnya dompet gue lagi rata…” kata Ferry becanda.
“Gue gak minta apa-apa. Cuma kita berenam gue, Jefrey, Siska, Ferry, Metha, Malvin bareng nyokap bokap sama oom tante makan bareng. Soalnya dari dulu gak pernah..” permintaan Dery yang mudah.

“Kalo gue, gue cuma minta elo berdua manggil gue koko. Soalnya selama ini kalian manggil koko cuma sama Dery. Walo gimanapun gue koko lo juga…” kata Jef setengah takut.
Siska dan Ferry saling tatap dan kemudian ketawa lagi.
“Iya.. iya.. KOKO JEFF…” kata dua orang itu lagi hampir bersamaan.


*TAMAT*

harta karun erish

Harta Karun Erish

Grusak, Grusuk. Terdengar dentuman dikamar Erish. Hingga dari dalam kamar muncul suara, “Mbok Ipit, Liat album foto yang warnanya kuning, ada gambar bunga matahari, nggak?” ia tampak panik dan membongkar seluruh isi dalam lemari bajunya.
Mbok Ipit yang renta mendekati kamar majikannya. “Setau Mbok, Mbak pernah menaruh album itu di laci meja.” Erish segera meninggalkan lemari pakaian yang kini dalam keadaan sangat berantakan dan menuju laci meja. Mbok Ipit yang kebagian tugas membenahi lemari pakaian.
Album foto kuning dan bergambar bunga matahari berhasil ia temukan tapi Erish tak langsung memandangi foto didalamnya, melainkan kembali ke laci meja tempat tadi ia mencari album foto. “Aduh, kayaknya gue pernah naroh pulpen itu disekitar sini,” untuk kedua kalinya Erish membongkar laci.
Album kuning yang barusan temukan, hanya tergeletak di ranjang. Erish masih berkutat dengan laci meja guna mencari sebuah pulpen orange yang sudah tak bertinta.

Tak lama, mama melirik putrinya menuju belakang rumah. “Mau kemana? Sibuk amat?”
“Mau nyari harta karun.”
“Daya khayal anak itu kan lemah,” mama jadi bingung. Kini gudang kotor, bau dan tak terawat itu sudah dimasuki Erish. Taukah yang ia cari? Sebuah boneka kumal. Boneka terletak dibawah sebuah meja yang penuh buku—jadi mudah ditemukan. Boneka panda yang cacat, tangan kanannya belel, mata kanannya copot, warnanya memudar, kupingnya sudah ditelan bumi. Tapi, boneka itu merupakan harta karun.
Petualangan Erish mencari barang-barang lama tak berhenti. Ia melanjutkan perjalanannya menuju kamar Mbok Ipit yang sedang menyetrika pakaian.
“Mbok, baju yang udah nggak kepakai sudah dijual?” si Mbok menggeleng. Ternyata tumpukan baju-baju Erish yang sudah jelek, sudah memudar, sudah kesempitan terletak di gudang. Walau dengan sedikit kesal Erish kembali ke gudang untuk menemukan baju yang ia cari. Sebuah baju berwarna kuning keemasan walau sedikit memudar dan boneka tua, yang berhasil ia temukan diletakkan diranjang bersama pulpen dan album foto.

Lelah juga pikir Erish. Ia merebahkan badan di ranjang. Duh, andai kejadian dua hari yang lalu tak terjadi, aku pasti tak`akan serepot ini. Dan pasti sekarang aku tak sedang berada dirumah melainkan sudah pergi kesuatu tempat.
“Astaga!! Dibuku akun! Dia pernah nyoret-nyoret disitu.” kini Erish mengobrak-abrik lemari buku pelajaran. “Ada. Ada dibuku sejarah juga. Eh, dibuku mat juga ada. Aduuuh.. kangen sekali rasanya.” Tatapan Erish nampak kosong.
Huh. Kafe No Rule. Gue nggak akan ke tempat itu lagi. Tempat yang membuat persahabatan gue sama Marie yang sudah berusia 10 tahun patah saat itu juga. Gue tahu, gue salah. Gue suka sama orang yang disuka Marie. Tapi, bukan salah gue dong kalau Bas memilih gue dibanding dia.
Dua hari yang lalu, Marie melihat kami makan bersama di kafe No Rule. Marie yang sangat marah menghampiri kami dan mendamprat gue habis-habisan. Yasudah, mulai saat itu dia nggak mau bicara lagi sama gue. Walau kami duduk sebangku, ia menganggap gue nggak ada.
Tapi, jauh didalam hati, gue bilang. “Sory, ya, Marie..” ya iyalah emang gue yang salah. Ngambil Baskara yang Marie sukai karena gue juga suka dia.
Dan jauh didalam hati, gue bilang, “Buset, gue jahat banget ya, mempertaruhkan persahabatan gue sama Marie yang sudah menginjak 10 tahun hanya karena ‘sebuah’ mahluk yang bernama cowok.
Ini rekor baru kami tidak berbicara. Dulu pernah diem-dieman juga, tapi cuma 3 jam dan tiba-tiba kami sudah lupa begitu saja.
Erish memandangi barang-barang yang dikumpulkannya. Album foto kuning, pulpen orange, boneka kusam, baju kuning yang kekecilan juga beberapa buku pelajaran.
Tahukah kalian apa maksud semua barang-barang itu? Boneka coklat tak berkuping ialah hadiah Marie ketika ulangtahun Erish ke 10. Erish menangis mengingat itu. Mereka bersahabat sejak SD. Tak terpisahkan sama sekali. Pulpen orange yang sudah tak bertinta sebenarnya milik Marie yang diambil Erish. Awalnya minjam eh lupa dibalikkan. Buku-buku pelajaran, Marie senang sekali nyorat-nyoret yang aneh-aneh ketika di sekolah. Dan yang paling mengesankan ialah album foto mereka.
Foto-foto keakraban mereka sejak SD terekam semua di album itu. Sejak Erish SD hingga SMA sekarang ini. Kenangan melalui foto-foto itulah yang membuat Erish semakin berlinangan matanya. Lebih deras dari sebelumnya. Kira-kira lima menit kemudian, ia mengusap air mata dan menyalakan laptop yang letaknya didepan persis didepan ranjang. Banyak sekali foto-foto di laptop itu yang memperlihatkan betapa akrabnya mereka.
Karena tak tahan, Erish sangat ingin berbicara pada Marie karena sudah 2 hari mereka berkutat dengan keegoisan mereka. Dan mengatakan “maaf”.
Namun, tangan Erish serasa bergetar begitu juga dengan jantungnya seakan berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Erish mengurungkan niatnya. Kemudian berusaha memberanikan diri untuk menelpon Marie. Namun gagal untuk kedua kalinya. Ketika mencoba menelpon untuk ketiga kalinya, ketika Erish sudah memencet nomot telpon Marie, justru telpon itu berdering sendiri.
“Iih.. Ngaggetin aja sih,” komplen Erish. Dalam hatinya bertanya-tanya dari siapa telpon itu. Apa mungkin dari Marie. Hanya ada satu cara untuk membuktikannya.
“Haloo..” sapa Erish dengan ragu-ragu.
“…mm… ..mm… Hallo…”
“…Ng… …Ng… Marie, kurasa ada yang perlu kita bicarakan..”
Marie tak bersuara.
“Maaf sudah merusak persahabatan kita yang sudah menginjak sepuluh tahun. Aku dua hari ini tersiksa tanpa kamu..”
FIN