Sabtu, 29 Agustus 2009

our second home

Our Second Home





Sekarang pukul empat sore.Seluruh penghuni asrama sudah pulang dari sekolah.Semenit saja terlambat datang—bisa kena amukan Suster Helsa,pengawas asrama wanita “St.Maria Rosario”
Ditiap kamar dihuni empat anak perempuan. Penghuni kamar no.34 di lantai tiga ialah Hillary,Elizabeth,Teresia,dan Vinza.Mereka tidak hanya kompak di asrama,tetapi juga kompak di sekolah.
“Hhm,eh temen-temen nanti kata suster kita harus bangun jam dua belas malem—untuk berdoa rosario.”lapor Elizabeth yang agak gendut.
“Iih,malees ya,boo..bangun malem-malem.”keluh Vinza.
“Terus gimana dong?” tanya Teresia.
“Kita kabur aja..”tantang Vinza.
Teresia, Elizabeth,Hillary memandangi temannya yang dipikir mereka sudah sinting! Suster Helsa itu adalah ancaman! Dia sangat galak—ketat—namun kompeten! Segala yang diperintah kannya tidak boleh sama sekali dilanggar.
Kembali kemasalah anak-anak itu.
“Vinza, elo masih waras `pa ngga sih?” komplen Elizabeth
“Tau..Kalo sinting jangan ajak-ajak dong..mentang-mentang setia kawan—bukan gini yang namanya setia kawan. Ini`sih setengah gila…” Teresia geleng-geleng—sembari masih asyik ber-smsan dengan kekasihnya—Yosua.
“Heh,,heh,,elo bertiga mikir gue bakal ngaruh`in elo pada gitu? Gila loh ya,,,masa gue setega itu?! Hei—gue ini Vinza, bukan buronan polisi.” Vinza mondar-mandir dikamar menjelaskan ngalor-ngidul ide sintingnya.
“Terus maksud elo kabur dari doa rosario malam ini apa?” tanya Hillary yang cantik itu.
“Ya..bukankah kalian semua setuju kalau lebih baik tidur daripada berdoa sambil ngantuk-ngantuk? Doa kita tidak akan konsen—doa kita tak`kan dikabulkan dan untuk belajar besok kalian akan ngantuk-ngantuk.” Hillary, Teresia,dan Elizabeth saling pandang! Sepertinya benar—benar Vinza udah sinting.


Tiba-tiba sesuatu datang—lebih buruk dari angin topan atau tornado, atau tsunami sekalipun.
SUSTER HELSA ,,,, !!!
MUNCUL DIDEPAN MATA MEREKA
“Eehmm..” si Ancaman itu berdehem.Vinza memalingkan wajahnya—siapa ya, yang masuk-masuk kamar orang.Setelah dipa lingkan wajahnya—detak jantungnya seakan mau copot. Dan dia tidak bisa membayangkan akan mendapat hukuman apa dia?
Vinza dan kawan-kawan menunduk.
“Iya suster tahu—kalau doa rosario malam itu membosankan membuat kalian mengantuk keesokan harinya,membuat kalian tidak bisa konsen berdoa, dan tidak akan dikabulkan doanya.Tapi yang saya tahu—mencuci kamar mandi lima hari tidak terlalu buruk,bukan,Vinza…” Vinza membelakkan matanya. Kaget! “Ya mulai nanti sore bersihkan kamar mandi lantai dua dan tiga!” lalu suster kiler itu sekejap menghilang dari pandangan mata!
Mereka berempat terdiam.
Hening.
Hingga suara Vinza memecah keheningan. “AAAHHHH… sialan! Kalau kayak begini gimana mau kabur!!” marahnya! Dia mondar-mandir di kamar.Yang lain hanya memandang tak karuan
“Udahlah,Vin,kita ikutin aja apa kata nenek lampir itu!” kata Teresia tidak mau ambil pusing.Sambil terkadang mengang- kat telpon dari Yosua.
“Iya..Jangan sampe kayak bulan lalu—gara-gara ulah lo yang sok kabur dari asrama——kita semua kena dampratnya.Orang tua kita semua dipanggil.Padahal itu salah elo..” kata Elizabeth gerah dengan ulah Vinza.

“Oh iya! Sekarang gue tahu—lo semua nggak punya jiwa nasionalisme!!”
What`s? Vinza berbicara tentang nasionalisme?
“Gue tau—kalian terlalu cemen untuk kabur dari doa rosario, tapi sekarang..”
“Gue udah bukan bagian dari elo semua!!!” teriak Vinza.

PLAK….!!

Sebuah tamparan ditujukan pada Vinza.
“Ngomong apa lo`barusan?” marah Elizabeth.
“Apa elo lupa—kalau kita pertama kali bertemu, kita nggak saling kenal, kita kemudian kenalan, dan.. dan.. elo penggagas berdirinya gank kita ini..! Vinza! Sadar dong..” Elizabeth marah bukan main.
BUUUUK…
Vinza mendorong tubuh gendut Elizabeth ke belakang. Ia terhuyung jatuh.
“Gue udah gak perduli! Gue nggak perduli gank ini. Anggap aja kita nggak saling kenal.” Vinza terlihat amat marah, yang dilihat anak lain justru Vinza mengobrak-abrik lemarinya. Menge luarkan tali panjang.
Tali itu tali yang sempat digunakan oleh empat sahabat itu saat mereka kabur sebulan yang lalu. Namun tertangkap oleh Suster Helsa, jadi orang tua mereka dipanggil. Tali itu saksi bisu saat empat sahabat itu masih kompak,masih memperjuangkan nasionalisme!


“Vinza, Vinza mau kemana? Mau ninggal`in Hillary`ya?” Hillary ketakutan melihat pemandangan ribut barusan.Selama ini Hillary ialah orang yang dikenal amat dekat dengan Vinza.
“Hillary,jangan takut,gue cuma mau kabur.Dan gue nggak akan melibatkan siapa pun dalam tindakan gue ini.Biar aja sifat nasionalisme kita padam dulu untuk sementara.”
“Eh, lo jangan sok-sok pakai nama nasionalisme ya! Gue yakin lo nggak ngerti arti daripada nasionalisme itu sendiri!!” oceh Elizabeth yang barusan menampar Vinza.
“Iya Beth,gue tahu—lo bintang kelas kita.Gue tahu,gue ini cuma rengking dua puluh empat dari dua puluh lima siswa,gue tahu—gue nggak ngerti arti nasionalisme itu sendiri,tapi gue tahu—lo nggak akan merasa terganggu kalau gue nggak ada—karena gue cuma parasit!”


Semua anak cewek di ruangan itu terpana. Vinza dapat berkata begitu. Hal lain yang Teresia,Elizabeth dan Hillary lihat adalah bahwa Vinza melakukan hal gila,sama persis yang dilakukan empat sahabat itu sebulan yang lalu.
“VINZAAA…” Hillary dan Teresia tak rela sahabatnya itu kabur sendiri saja.
“Sudahlah,Vinza mungkin memang membutuhkan kesendirian.” Ujar Elizabeth sok merasa tak khawatir,namun sesungguhnya—dihatinya yang paling dalam,ia sangat khawatir pada Vinza.
Hillary dan Teresia menangis tersedu-sedu.
“Beth,kalau suster Helsa nanya kemana perginya Vinza bagaimana?” tanya Teresia.
“Kita bilang aja—dia ke kamar mandi.” Elizabeth sok cuek.
“Nggak mungkin bisa bertahan lama. Suster killer itu pasti akan curiga.” Timbal Hillary.
“Ya udah!! Kita pikirkan saja nanti..Gue capek.Mau tidur…!!” Elizabeth marah lagi, gadis gemuk itu menuju tempat tidurnya dan menutupi dirinya dengan selimut.
Sesungguhnya Elizabeth menangis dibalik selimut itu.Ia merasa bersalah pada Vinza telah berkata kasar,dan telah menamparnya. Juga kesannya Elizabeth itu sombong—mentang-mentang dirinya pintar dan Vinza tidak pintar.


Acara kabur itu memang berlangsung mulus. Vinza telah berhasil kabur ke hutan kecil dibelakang asrama. Tempat itu pula tempat dahulu mereka kabur.
“Huh. Elizabeth sombong! Gue ngerti kok arti nasionalisme, nasionalisme itu kekompakkan`kan..” kata Vinza gerah. Ia membawa ransel dipundaknya. Ia benar-benar ingin pergi. Entah pergi kemana.
“Gue nggak punya temen!!!!” teriak Vinza. Namun tak ada yang mendengar perkataannya kecuali nyamuk dan serangga-serangga bodoh.

“Gue temen lo—Vinza…” tiba-tiba ada sesuara. Vinza terkesiap! Siapa pemilik suara itu.
“Siapa? Siapa? Siapa yang ada dihutan ini…?”
“..ya tentu saja.. penunggu hutan ini…”
Vinza terjatuh dibawah sebuah pohon. Jantungnya berdegup kencang. Bleum pernah terjadi kejadian ini sebelumnya. Belum pernah ia bertemu dengan hantu.
“Kau hantu ya..? Tolong.. jangan takuti aku. Aku ini benar-benar takut hantu. Aku sadar aku ini telah banyak melakukan dosa. Aku telah membuat orang tuaku gusar. Aku sering mengecewakan teman-temanku terlebih Elizabeth, aku egois, aku terlalu memikirkan diriku sendiri. Aku juga telah lama nggak mengaku dosa. Tapi kumohon—jangan makan atau bunuh aku, pliss…” Vinza mengatakan itu dengan penuh ketakutan tangannya bergetar cukup cepat.

Suara ajaib itu tertawa.

Suaranya seperti tawa manusia normal.
“Kenapa tertawa? Hantu?”
“Wahahaaa… Tenang aja, gue nggak kanibal kok. Gue memang hantu, tapi hantu yang lo kenal.” Dasar suara aneh.
Vinza yang cukup tomboy telah nggak takut lagi. Justru shock akan penjelasan dari hantu itu.
“Memang elo siapa? Apa kita telah kenal sebelumnya?”
“Tentu saja. Gue ini…”

Semenjak peristiwa itu, Hillary terus menerus menangis di pelukkan Teresia. Elizabeth yang barusan bertengkar hebat dengan Vinza dari tadi tidur. Tidak beranjak dari ranjangnya.
“Ter, kenapa`sih.. Elizabeth sama Vinza egois kayak begitu.. seperti tidak saling kenal satu sama lain.” Keluh Hillary sambil terisak-isak.
“Entahlah. Mungkin sifat egois mereka berdua saat ini sedang meledak-ledak. Kita berdoa aja supaya teman kita kembali seperti semula.” Kata Teresia dengan tangan kiri memegang ponsel—ia tak pernah lepas dari ponsel itu. Itu ialah satu-satunya alat canggih yang dapat mempertemukannya dengan Yosua.


Lalu muncullah Ellia. Teman satu asramanya. Tepatnya Ellia itu masih junior.
“Kak Vinza ada?” tanyanya pada Hillary.
“Mm… Lagi di tidur tuuh…” yang menjawab Teresia sambil menunjuk ke arah ranjangnya Elizabeth. Yaah—agak bohong sedikit sih.
“Ooh. Kak Vinza lagi tidur, ya Kak Teresia, ya sudah. Tadi Suster Helsa titip pesan supaya Kak Vinza jangan lupa melakukan hukuman yang diberikan olehnya. Begitu.”
“Ooh iya. Beres. Nanti gue yang sampaikan.”

Kembali ke masalah Vinza dengan orang aneh yang tak dikenalnya. Kini Vinza tertawa-tawa dengan hantu yang ditemuinya—hantu yang selama ini menetap di hutan kecil yang berdekatan dengan asramanya.
Hantu itu tidak lain, tidak bukan, ialah Bastian. Kakak kandung Vinza yang meninggal dua tahun yang lalu akibat kecelakaan mobil.
“Kakak, aku seneng deh, bisa ketemu kakak disini, udah lama ya, kita nggak ngobrol kayak gini…” kenang Vinza—walaupun tidak melihat kakaknya secara langsung.
“Terang`lah… Kakak`kan meninggal dua tahun yang lalu..”
“Iya, bahkan sampai sekarang—tiap hari dimana kakak meninggal selalu diadakan doa bersama di rumah lho`kak…” kata Vinza.
Hantu Bastian tidak membalas.
“Kok kakak disini?”
“Mau jaga`in adik kakak yang nakal ini…”
Dua kakak beradik yang terpisah dunia itu tertawa bersamaan. Semasa hidupnya—memang Bastianlah kakak tersayangnya Vinza. Vinza ialah bungsu dari tiga bersaudara. Kakak pertamanya William—kini telah menikah dan mempunyai seorang bayi. Ialah dari tiga bersaudara itu yang sukses. Willi seorang dokter juga terkenal sebagai penulis buku ilmu pengetahuan. Berbeda jauh dengan Bastian dan Vinza.
Bastian semenjak kuliah—kerjaannya ngetrek melulu, kuliahnya nggak kelar-kelar, sampai akhirnya meninggal dikala usia 19 tahun, tidak berbeda jauh dengan Vinza, gadis biang ulah semenjak di bangku SMP. Lalu akhirnya dimasukkan ke asrama agar pendidikan agamanya terdidik.


“Kabarnya koko gimana?” Bastian menanyakan kabar koko tertuanya—William.
“Oh, koko sama cici Marsya sekarang lagi tinggal di Aussie, soalnya cici Marsya ngambil S3 disana.” Jawab Vinza
“Woow.. Aku kangen nih, sama mereka.”
“Aku juga. Udah sebulan lebih nggak pulang ke rumah.”
“Terus, kalau Maria, sekarang umurnya udah berapa tahun?” Maria itu ialah puteri tunggal dari koko Willi dan cici Marsya. “Ooh, sekarang udah tiga tahun, bahkan, dia udah mau punya adik. Soalnya cici Marsya udah hamil lagi.”
“Aduuuuh,,, aku jadi semakin kangen dengan kalian.”
“Kak, aku boleh cerita sama mama kalau aku ngobrol banyak tentang kakak?” tanya Vinza. “Eeh, eeh, jangan.. Vinza—kamu tahu sendiri hubungan aku sama bonyok nggak begitu baik, biarin aja—ini jadi rahasia kita. Kakak berada disini juga tidak lain untuk jaga`in adik kesayangan kakak. Makanya—waktu kamu berantem sama gank kamu, kakak mau bikin keadaan kamu lebih baik.”
“Ooh, kakak tahu—mengenai aku berantem sama Elizabeth..?”
“Dan juga—segala ulahmu selama tinggal di asrama ini!!” Vinza tertawa. Jadi, rupanya, kakak kesayangannya itu selalu melindunginya dari jauh. Vinza tersenyum bahagia. Kakaknya selama ini tinggal tidak jauh dari sisinya.



“Vinza, pulang`lah…” bujuk Bastian. Sifat egois Vinza balik lagi. Dia ngambek. Dia memang anaknya egois dan tak mau menyerah akan suatu hal.
“Kakak!! Kakak`sih, nggak tahu—teman-temanku itu sama sekali nggak punya jiwa nasionalisme barang sekali. Mereka nggak membela aku waktu di marahin suster Helsa. Mereka juga nggak dukung aku untuk kabur.. pokoknya mereka ngecewa`in Vinza!!!” teriak Vinza.
“Vinza—dengerin dulu,, mereka pasti punya alasan. Mereka nggak mau nilai-nilai mereka tambah jelek, makanya mereka nggak mau kamu ajak kabur.”
“Kok jadi kakak sih yang m`bela`in Elizabeth?” omel Vinza nggak karuan, lalu berdiri dengan tangan dilipat.
“Kakak nggak mbela, tapi…” omongan Bastian diputus Vinza.
“Tapi apa?”
“Tapi, kakak nggak mau nasib kamu sama kayak nasib kakak…” semejak Bastian mengatakan hal itu, muka Vinza menunduk. Berpikir barangkali dia.
“Apa kamu mau, meninggal sia-sia kayak kakak?”
“Tapi`kan, aku nggak ngetrek mobil`kak…”
“Tapi kamu selalu berusaha kabur dari asrama lantai tiga…” bantah Bastian. Vinza kembali berdiam diri.
“Tapi.. Tapi kalau itu Vinza nggak pernah sampai meninggal dunia`kan..” Vinza masih terus saja berkilah. Memang itulah yang menjadi ciri khasnya. Bastian lelah juga memberitahu adiknya.
“Aduduh… Vinza. Kamu tuh kalo nggak ngeyel nggak bisa ya? Kamu nggak bisa apa denger`in kata-kata kakak sekali aja.. Kamu pulang aja sebaiknya.”

Vinza diam sejenak.
Memikirkan kata-kata kakaknya barusan yang menyebutkan dirinya yang selalu menyela kata-kata orang. Vinza baru sadar ternyata dirinyalah yang memang nakal. Tidak pernah mendengarkan kata-kata orang lain. Termasuk Elizabeth.
“Kata-kata kakak nggak salah sama sekali`kan?”
Vinza masih terus saja diam.
“Pulanglah Vinza. Dengarkan kata-kata teman-temanmu, terutama Elizabeth. Dia sebenarnya sayang sama kamu. Kamu nggak tahu`kan?! Sehabis kamu kabur dia sesungguhnya menangis telah menamparmu. Ia menangis dibalik kasur. Dia sungguh sayang sama kamu. Pulanglah, Vinza..”
Adik dari Bastian yang nakal itu akhirnya membuka mulut.
“Apa benar Elizabeth benar-benar nangis karena aku kabur? Kakak nggak bohong?” Bastian terus saja mencoba menyakinkan Vinza bahwa teman-teman sekamarnya ialah memang teman-teman yang baik. Teman-teman yang tidak mau Vinza berbuat sesuatu yang gila.
“Kalau begitu, yang salah tuh, Vinza`ya`Kak?”
“Iya. Elizabeth juga sebenarnya salah. Dia menghina karena kamu nggak begitu pintar dipelajaran, tetapi setelah kamu kabur, dia benar-benar menyesal.” Begitu kata Bastian.


Kemudian, tersungging senyuman di bibir Vinza. Lalu dia berkata, “Baiklah.Kakak nggak mungkin bohong, jadi sekarang adek akan pulang, minta maaf sama mereka, terutama pada Elizabeth, sebenarnya dia benar. Aku nggak tahu benar apa arti nasionalisme itu. Juga adek akan ngelakuin hukuman yang diberikan oleh Suster Mak Lampir itu. Hehehe.. Kak Bastian akan jaga aku terus`kan?”
“Tentu. Kakak akan jaga kamu dari jauh…”

Dengan langkah pasti, Vinza berlari kearah sebaliknya. Kearah rumah keduanya—Asrama wanita St.Maria Rosario. Kini, Vinza sedang memikirkan kata-kata yang pas untuk meminta maaf kepada Elizabeth, Hillary dan Teresia. Apalagi pada Hillary, yang pasti saat ini sedang khawatir setengah mati padanya.

Gedung asrama yang lantai lima itu berdiri kokoh dihadap annya. Lalu ia lewat pintu rahasia untuk masuk kedalam gedung. Yang tahu jalan pintas itu hanyalah gank mereka. Gank yang cukup terkenal sebagai gank paling kompak dan jarang terlibat masalah internal—kecuali masalah dengan Suster Helsa. Kalau itu—gank mereka terkenal sebagai gank yang biang onar di asrama itu.
Lalu—kamar no.34 Lantai 3 ada didepan Vinza. Ia mempersiapkan diri untuk bertemu dengan tiga sahabatnya. Lalu terdengar suara gaib yang berasal dari Bastian,
“Ayo, Vinza, beranikan dirimu…” bujuk Bastian.
Sedikit memaksa diri, Vinza membuka pintu kamarnya.



Dan—apa yang dilihatnya?
Teresia, Hillary dan Elizabeth duduk termenung dipojok kamar. Mereka bertiga kontan kaget seperti melihat hantu saja. Padahal—yang ada dihadapannya ialah Vinza. Sahabat mereka.
Vinza tersenyum kaku, lalu menghampiri tiga sahabatnya itu.
Mereka bereempat penuh keheningan, seperti pada upacara pemakaman saja.
Vinza segera mendekap tiga sahabat baiknya. Keempat anak itu menangis bersamaan. “Hiks..Hiks..Ooh.. Dramatis sekali, seperti pada film-film.. Ooh.. Andai aku masih hidup..” kata Bastian yang juga menonton pertunjukkan tangis itu.
“Teman-teman maaf`in gue.. Gue terlalu egois, bilang gank kita bubar. Padahal gue dulu yang semangat banget bikin gank ini. Maaf`in gue. Gue sadar—gue emang terlalu egois untuk maksa kehendak gue, yang sebenarnya nggak ada guna!!” pelukan itu kemudian perlahan-lahan terlepas.
Semua saling berpandangan. Semua mengeluarkan air mata.
“Vinza, jangan kabur lagi, ya, gue`tuh sayang banget sama lo. Gue nggak mau lo terluka sedikit pun. Apalagi, pergi kehutan sendirian tanpa kami. Tar kalo lo dimakan macam—gimana?! Kita`kan pasti menyesal sekali. Hiks..Hiks..” tangis Hillary. Ia kemudian dihibur Teresia dan Vinza.
“Iya deh—maaf ya, Hillary..” kata Vinza, sikapnya tadi yang menyakitkan hati itu tak tampak lagi.
“Tau nih, lo bikin kita khawatir..” tambah Teresia. Ia sudah tidak asyik lagi dengan ponselnya. Ia mungkin istirahat sebentar untuk menyelesaikan masalahnya dengan teman-temannya.


Kemudian, Vinza menatap Elizabeth. Dua-duanya merasa tak enak. Akhirnya Elizabeth yang menyudahi pertengakaran ini.
“Kayaknya kita harus mengusir egois kita. Agar gank kita ini bisa tetap berdiri.”
“Iya, Beth, gue minta maaf. Gue sadar gue nyakitin lo dan anak-anak..” mereka berdua saling berpandangan. Kemudian berpelukkan. Teresia dan Hillary memandanginya penuh kebahagiaan.
“Sorry.. Gue janji nggak akan sombong dengan kepintaran gue.” Kata Elizabeth. Pelukan itu terlepas.
“Gue juga mau jujur—sebenarnya gue nggak tahu makna nasionalisme.” Wahahahahaa… Keempat perempuan yang tidur satu kamar itu tertawa bersamaan.

Lalu—Teresia, Hillary dan Elizabeth ikut menanggung hukuman Vinza yakni membersihkan kamar mandi lantai dua dan tiga.

“Hiks..Hiks.. Andai waktu gue hidup gue punya sahabat dekat seperti yang dimiliki Vinza…”








---Tamat---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar