Sabtu, 29 Agustus 2009

petualangan sehari dek jemi

Petualangan Sehari Dek Jemi



Tidak seperti anak-anak seusianya, Jemima belum pernah merasakan yang namanya menginjak suatu tempat yang disebut sekolah. Itu dikarenakan penyakit Jemima yang membuatnya dilarang bersekolah. Oleh karenanya Jemima home schooling di rumah.
“Dek Jemi, makan pagi, yuk, dek..” terdengar sebuah suara. Ternyata itu Mbok Onah. Gadis sepuluh tahun itu mengucek matanya.
“Udah jam berapa, Mbok?” Tanya Jemi.
“Jam 6 lewat. Turun yuk, nanti adek dimarahi Mas Jemi karena lama turunnya. Kan adek tahu—Ibu dan Bapak baru memperbolehkan makan kalau sudah berkumpul..” bujuk Mbok Onah. Memang begitu peraturan di rumah Jemima.
“Iya deh, Mbok, aku sikat gigi dulu ya..” Jemima beranjak dari kamarnya dan menuju kamar mandi diluar. Mbok Onah juga menuju dapur.
Setelah sikatan, Jemi turun ke bawah, dibawah, Mama, Papa, dan kakaknya sudah menunggu. Melihat adiknya sudah turun—tersentaklah kakak Jemima karena marah.
“Heh.. Lelet banget sih lo bangunnya..! Tahu nggak—gue bisa telat sekolah nih! Nah, lo sih enak, nggak sekolah. Gue`kan sekolah..” teriak kakak Jemima itu. Jemima hanya menunduk takut tanpa berani menjawab.
“Mas Jemi! Kasar banget sih sama Dek Jemi. Dia ini adikmu, sayang..” bilah Mama sembari mengelus rambut Dek Jemi. Kakak Jemima yang berusia tujuh belas tahun itu bernama Jeremi. Dan dipanggil Mas Jemi. Kalau Jemima dipanggil Dek Jemi.
“Mama`nih.. Selalu mbelain dia.. Aku nggak pernah dibela. Aku`kan bisa telat, Mam,” komplen Jeremi.
“Sudahlah, Jeremi! Yang bikin kamu telat itu`kan karena kamu pakai acara jemput cewek kamu segala. Pakai alasan nyalahin Dek Jemi lagi.” Kini Papa yang memarahi putra sulungnya.
“Iih.. Pap. Jangan ngomong begitu dong tentang Citra.”
“Tapi—Dek Jemi itu adikmu, kamu harus sayangi dia lebih dari pada sayangmu ke Citra. Udah.. Kita mulai makan, ntar kamu telat..” oceh Papa. Lalu acara makan pagi bersama ini dimulai dengan doa bersama dari Mama. Ya. Untuk berkumpul—papa mewajibkan makan pagi dan makan malam harus kumpul semua.


Setelah selesai makan, semua pada sibuk sendiri. Mas Jemi langsung tancap gas untuk menjemput pacarnya. Papa dan Mama juga nggak kalah sibuknya. Yang nggak sibuk hanyalah Dek Jemi saja. Karena ia nggak perlu repot-repot mengalami yang namanya sekolah.
Setelah semuanya berangkat. Tinggallah Jemi di rumah ditemani para pembantu. Lalu Dek Jemi naik ke kamarnya. Seperti biasa, dia merasakan kejenuhan karena semua keluarganya sibuk. Sebenarnya sih—karena Jemi nggak punya teman saja. Wajarlah—dia nggak sekolah, jadi dia punya masalah dalam mempunyai teman.
“Aku bosan.. Mau ngapain ya.. Aku kepingin banget punya temen. Kayak Mas Jeremi. Yang punya banyak temen. Tiap temen-temennya dateng, rumah bakalan penuh dan berantakan. Tapi`kan asyik..” keluh Jemi dalam hati.
Ia memeluk boneka panda besar di kamar dan melihat indahnya pemandangan dari beranda kamarnya.
Di beranda, Jemima melihat dari atas beberapa anak yang usianya lebih muda darinya, muncul bersamaan sepertinya mereka teman dan mereka nampaknya sangat akrab. Pemandangan itulah yang membuat Jemima iri. Ia belum punya teman. Ia selalu memendam masalahnya dalam hati. Maka Jemi anaknya agak sedikit tertutup.


Kira-kira pukul sepuluh, dari beranda Jemima melihat muncul mobil sedan pink memasuki pekarangan rumahnya. “Mobil itu.. Mobil Mbak Jemma..” katanya dalam hati. Gadis manis yang bernama Jemma itu usianya sembilan belas tahun, ia sudah kuliah. Jemma ialah saudara sepupu Jemi dan ia sangat dekat dengan Mas Jemi.
“Dek Jemi..” tiba-tiba Mbak Jemma sudah muncul di kamar Dek Jemi. Mbak Jemma langsung ngeloyor masuk dan memeluk saudaranya yang masih berusia sepuluh tahun itu.
“Rumah sepi—udah pada berangkat, ya..” Dek Jemi mengangguk. Mbak Jemma terlihat sedang memegang sebuah tas hitam.
“Tas apa`an itu, Mbak? Kok kayak tas kantor Papa..?” Tanya Dek Jemi. Kontan sang Mbak tertawa cekikikan—tentu saja, yang dibilang Dek Jemi dengan tas kantor seperti papanya itu sebenarnya tas laptop.
“Iih—kenapa ketawa sih Mbak Jemma..?” Tanya Dek Jemi.
Mbak Jemma masih tertawa, ia menggandeng tangan adek sepupunya untuk kemudian duduk di ranjang Dek Jemi. Mbak Jemma juga mulai memperlihatkan isi dari tas itu. Dek Jemi langsung tahu bahwa itu note book. Papa, Mama dan Mas Jemi punya masing-masing dan sering mempergunakan.
“Ooh.. Note book toh..” kata Dek Jemi yang merasa nggak asing lagi.
“Bukan. Laptop.” Bilah Mbak Jemma.
“Yah—sama sajalah, Mbak Jemma mau bikin apa memangnya?” Tanya Dek Jemi. Mbak Jemma mulai sibuk mempergunakan laptopnya.
“Ini nih—mbak dapet tugas dari dosen Mbak untuk buat makalah. Tapi, di rumah suntuk. Sepi Cuma ada pembantu—makanya Mbak kesini, kan disini ada kamu.. Jadi Mbak ada temannya deh..” Mbak Jemma tiduran di ranjang dan tangannya sibuk mengetik-etik sesuatu. Dek Jemi mengikuti Jemma untuk tiduran di ranjang.
“Mas Jemi juga sering bikin makalah..” jelasnya. Mbak Jemma hanya tersenyum dan mengacak-acak rambut adeknya itu. Beberapa menit, Jemi hanya memperhatikan sepupunya yang sedang sibuk tanpa sepatah kata pun.
Lalu Mbok Onah datang dan menyuruh Dek Jemi untuk mandi. Dek Jemi pun mandi. Mbak Jemma meneruskan tugasnya. Rumah Jemma nggak terlalu jauh dari rumah Jemi. Karenanya sering main deh.


Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, Dek Jemi melihat Mbak Jemma masih mengutak-atik laptopnya tiada perubahan sedari dia mandi. Dek Jemi tiduran lagi disamping Mbak Jemma.
Tak lama, Mbok Onah muncul di kamar Dek Jemi. Ia membawakan makanan ringan untuk Dek Jemi dan Mbak Jemma.
“Mbak, di laptop papa, banyak foto-foto aku. Disini banyak foto-foto nggak?” Tanya Jemi sambil makan. “Ada. Bentar lagi Mbak lihat`in..” jawab Mbak Jemma. Dan ia menunjukkan foto-foto pribadinya. Ada satu folder khusus foto-foto Mbak Jemma dengan pacarnya. Folder lain khusus foto-fotonya. Mbak Jemma memang cantik—makanya foto-fotonya selalu bagus. Dan ada folder khusus ia dengan keluarga. Banyak sekali. Ada foto-foto dengan Mama dan Papanya juga ada Dek Jemi. Tapi tidak terlalu banyak. Yang paling banyak ialah foto Mbak Jemma dengan Mas Jemi. Memang mereka sangat dekat sedari kecil.
Dek Jemi jadi iri.
Lalu muncullah ide Mbak Jemma.
Mbak Jemma menarik tangan adiknya itu, “Mau kemana?” Tanya Dek Jemi. “Kita ke kamar Mas Jemi—kita lihat isi laptopnya..” senyum Mbak Jemma penuh kemenangan. Walau usia Jemma lebih tua dua tahun ia memanggil Jeremi dengan Mas, maksudnya ia ngajarin Dek Jemi untuk memanggil Jeremi dengan Mas.
“Ntar Mas Jemi marah..” tapi omongan Jemi tidak begitu ditanggapi oleh sepupunya itu. Ia justru ditarik ke kamar Mas Jemi. Yang jujur dia belum pernah masuk ke kamar Mas`nya itu. Ya karena ia nggak pernah ngobrol atau akrab dengan kakaknya itu.
Mbak Jemma yang emang udah tahu seluk beluk kamar Mas Jemi, langsung menyalakan laptop Mas Jemi. Bahkan langsung ketawa ketiwi lihat wallpaper depan laptopnya ialah foto Mas Jemi dengan dirinya. Di gambar itu sangat nyata kedekatan Mas Jemi dengan Mbak Jemma.
“Foto itu lagi dimana, Mbak?” Tanya Jemi.
“Lagi di mobil gue. Sumpah—Mas lo itu kocak abis.” Jemima sangat iri dengan kedekatan mereka. Lalu mereka melihat semua foto di laptop itu. Kebanyakan ya, foto Mas Jemi dengan Citra—pacarnya yang foto model itu.
Setelah semua foto sudah dipandangi, Jemma iseng untuk browsing internet lalu chatting dengan teman-temannya di dunia maya,
“Mbak—Mbak lagi ngapain sih—kok kayak lagi ngobrol di laptop.”
“Emang Mbak lagi ngobrol sama temen Mbak di Singapur.”
“Tapi—orang Singapur itu nggak ada.”
“Emang nggak ada, Dek. Ini yang di sebut chatting, ngobrol tanpa bertemu muka. Emang, kamu belum pernah diajarin Mas Jemi..?” Jemima menggeleng. Tergeraklah rasa kasihan Mbak Jemma—yang memang tahu Jeremi nggak akrab dengan Jemima.
“Ooh—sabar, Ya, sayang.. Mas`mu itu emang kebangetan. Ntar Mbak ajarin kamu chatting deh! Janji..” kata Mbak Jemma lebih lanjut sembari memeluk Dek Jemi.
Jemima berharap ia akan mendapat teman di chatting.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, setelah Mbak Jemma puas chatting dengan temannya—ia mau mengajari adiknya cara untuk chatting. Dan Jemima hanya butuh sedikit waktu untuk mengerti. Selanjutnya Dek Jemi sudah lancar untuk chatting.
Karena saudara sepupunya sudah pandai chatting—kini giliran dirinya melanjutkan tugas makalah kuliahnya. Mbak Jemma kembali ke kamar Jemima untuk mengambil laptopnya setelah itu ia kembali ke kamar Mas Jemi. Dua orang itu sedang asyik berkutik dengan laptop mereka masing-masing.


Akhirnya aku punya teman. Kata Jemima dalam hati. Nama orang itu Gian. Wah asyik, ya! Aku jadi kepingin ketemu sama orang itu. Habis sekali ngobrol—omongan mereka nyambung. Tapi kata Mbak Jemma harus hati-hati dalam memilih teman. Banyak penipu dan orang iseng di dunia maya.
Semoga saja Gian tidak begitu.
Saking asyiknya dua orang itu berkutik dengan laptop mereka—sampai-sampai mereka tidak sadar bahwa sudah siang.
Mbak Jemma sedang ke kamar mandi di bawah. Dek Jemi masih di kamar kakaknya. Bahkan Dek Jemi tidak sadar bahwa mobil kakak kandungnya sudah terparkir dibawah. Bahkan Mas Jemi sudah berdiri di palang pintu kamarnya.
Jeremi sangat kaget adeknya yang baginya sangat menyebalkan itu sedang membuka laptop pribadinya. Dan itu yang membuat Mas Jemi sangat kesal.
Jeremi langsung berteriak-teriak seperti di hutan.
“Heh..! Kurang ajar banget sih lo—masuk-masuk kamar gua sembarangan…!!” teriak Mas Jemi. Lalu ia masuk ke kamarnya dan menjewer telinga adiknya. Dek Jemi tidak bisa berkata apa-apa. Hanya mengeryit kesakitan dan ketakutan. Kakaknya akan memarahinya seperti biasa.
“Mana pake laptop gue tanpa izin lagi!!” Mas Jemi sudah tidak menjewer adiknya lagi. Tapi ia masih mencak-mencak marah. “Emang lo nggak diajarin apa sama guru home schooling lo supaya izin dulu sebelum meminjam barang?!” teriak Mas Jemi sambil melipat tangannya.
“…maaf…” hanya itu yang mampu dikatakan oleh Jemima.
“Maaf.. Maaf..” Jeremi melirik laptopnya. Ternyata Jemima sedang browsing internet. “Make internet lagi. Internet tuh mahal tahu!!” omelnya.
“..iya Mas..” melihat adiknya ketakutan—Mas Jemi tidak memarahinya lebih lanjut.
Disaat yang bersamaan,

“Jeremi…” teriak Mbak Jemma dengan tatapan bahagia karena melihat sepupu kesayangannya sudah pulang sekolah.
“Mbak Jemma..” sama seperti Mbak Jemma—Jeremi juga bahagia melihat Mbak Jemma datang. Mereka langsung berpelukan. Disaat yang mereka berpelukan itulah Dek Jemi keluar dari kamar Mas Jemi.
“Kenapa sih, marah-marah sama adek kamu.. Kan kasihan..” kata Mbak Jemma setelah mereka berpelukan. Mas Jemi dan Mbak Jemma kemudian duduk di ranjang. Mas Jemi menjawab, “Kasihan.. Kasihan.. Aku nggak kasihan tuh sama dia..”
“Iih—Mas Jemi jahat banget sih..”
“Biarin. Dia nyebelin sih.”
“Apa kamu nggak ada rasa sayang sedikit aja gitu sama Jemima?”
“Nggak ada. Kalau ada itu sangat sangat sangat sangat sedikit. Bonyok tuh terlalu sayang sama dia. Sampai ngelunjak.”
“Lo harusnya kasihan dong sama dia. Dia`kan home schooling, nggak punya temen. Harusnya lo sebagai kakaknya jadi temannya. Gimana sih..”
“Males.” Mas Jemi melirik kearah Mbak Jemi dan berkata, “Lagian dia punya temen kali… Mbok Onah..” canda Mas Jemi. Mereka berdua tertawa lalu larut dalam obrolan asyik mereka.


Jemima kembali ke kamarnya. Ia sudah mempunyai teman. Walaupun hanya satu. Jemima sangat menginginkan memiliki laptop sendiri. Supaya ia bisa chatting dengan Gian sesering mungkin. Jadi ia tidak akan merasa kesepian.
Gian bilang dia nggak pernah sekolah. Mungkin dia juga home schooling seperti aku. Wah asyik. Jadi dia punya banyak waktu luang untuk chatting denganku. Nanti kalau kami semakin dekat—aku akan menyuruhnya untuk main ke rumahku.
Untuk merealisasikan keinginan Jemima itu, Jemima kemudian turun ke ruang tamu dan mengangkat gagang telpon.
“Papa.. Ini aku Jemima…”


Pukul tiga siang, guru home schooling Jemima datang. Mereka belajar setiap Senin-Jumat. Kurikulumnya juga sama seperti kurikulum sekolah-sekolah biasa. Bahkan—guru Jemima ialah guru International School.
Jam belajar mereka dari jam tiga siang hingga jam tujuh malam. Mereka belajar di kamar Jemima.
Pukul enam sore Mama datang. Biasanya Mama mengontrol proses belajar anak bungsunya. Mbak Jemma masih ada di kamar Mas Jemi nyerocos ngalor ngidul.
Pukul setengah delapan, mobil Papa memasuki pekarangan. Biasanya Papa langsung mandi dan kemudian makan malam bersama.

Dan benar. Sekitar pukul delapan, Papa sudah menunggu di meja makan. Jemima juga sudah selesai belajarnya. Mama menghampiri putri bungsunya untuk memanggilnya makan.
“Makan, Yuk, sayang. Papa sudah nunggu tuh di bawah,” Jemima mengangguk dan turun ke bawah.
Kini dimeja makan sudah ada Papa, Mama serta Dek Jemi.
“Mama, Mas Jemi mana kok nggak sekalian di panggil?” Tanya Papa.
“Biasa, Pap. Ada Mbak Jemma. Jadi mereka susah dipisahkan.”
Akhirnya dua orang itu turun ke meja makan. Di meja makan—keluarga itu sudah berkumpul. Bahkan, Mbak Jemma juga ikut makan malam disana.
Ada yang berbeda. Pikir Jeremi. Di depan Papa ada tas hitam. Tak salah lagi itu tas laptop. Pasti itu buat gue. Makasih, Ya, Pap. Tahu aja—gue udah bosen sama laptop gue.
Lalu Mas Jemi berkata pada Papa.


“Waaah—Papa.. Makasih banget ya, udah beliin aku laptop lagi. Papa tahu aja aku udah bosen sama laptopku yang lama. Habis laptop itu tuh udah model lama, udah jadul, mana udah sering nge-hang lagi. Nyebelin deh..” kata Mas Jemi yang kemudian mulai buka-buka isi tas itu.
Spontan Papa memukul tangan putra sulungnya itu. “Aaauuw,”
“Laptop ini bukan buat kamu, jagoan…” ujar Papa.
“Terus buat siapa donk? Laptop Papa`kan baru kemarin diganti, laptop Mama juga masih bagus. Terus buat siapa lagi..” Tanya Mas Jemi,
“Ini buat adikmu..” kata Papa dan menyodorkan laptop itu ke Jemima.
Mas Jemi nggak kalah kagetnya. Matanya melotot tatapan tidak percaya. Apa fungsinya laptop bagi anak usia sepuluh tahun yang nggak sekolah??

“APPA??” teriak Mas Jemi melotot kearah papanya.
“Papa nggak bercanda`kan..?” sang Papa menggeleng. Jeremi sangat marah dengan tindakan Papanyaitu.
“Pa—Jemima itu masih sepuluh tahun,” tangan Mas Jemi dengan kasar menunjuk-nunjuk kepala Jemima. “Apa pentingnya laptop buat anak sepuluh tahun?!” omel Mas Jemi.
“Lho—sedini mungkin memperkenalkan teknologi pada anak-anak akan sangat bermanfaat, sayang..” Mama`lah yang menjawab. Papa pun ikut mengangguk setuju.
“Well, okelah.. Tapi nggak perlu sampai beliin dia laptop terbaru`kan.. Aku rasa dia juga nggak butuh-butuh amat. Itu kan suatu pemborosan..” bela Mas Jemi.
“Lho—suatu pemborosan itu kalau Papa beliin kamu laptop baru lagi. Kan laptop kamu masih bisa dipakai..” kini Papa yang menjawab,
“Ya—Jemima`kan bisa pakai laptop lama aku. Itu masih bagus, kok.”
“Ya sudah kalau masih bagus. Kamu pakai aja dulu. Apa sih yang perlu diributkan..” omel Papa yang mulai naik darah.

“Masalahnya, Papa lebih sayang Jemima di banding sama aku..” Mas Jemi memukul kecil kepala adiknya.
“Mas Jemi—hati-hati kalau ngomong sama Papa.” Bentak Mama.
Lalu Jeremi berdiri. Matanya tatapan melawan kedua orang tuanya. Mas Jemi menjadi amat dan sangat benci pada adiknya. Mas Jemi berkata, “Papa sama Mama emang kompakan. Lebih sayang Jemima daripada sayang Jeremi..” teriaknya. “Ciumin tuh anak kesayangan kalian. Aku emang udah nggak dianggep jadi anak!!” teriak Mas Jemi. Semua mata di ruangan itu kaget dengan ulah Jeremi itu. Jeremi pun naik ke atas dengan amat sangat marah.
Papa juga berdiri. Papa benar-benar sudah marah dengan kata-kata putra sulungnya.
“Jeremi!! Kurang ajar sekali kamu!!” teriak Papa, namun tidak dihiraukan oleh Jeremi. Mbak Jemma langsung mendekati Oomnya.
“Oom, tenang Oom, tenang.. Oom makan aja, ntar aku yang ngajak Jeremi bicara. Kalau sama aku dia pasti mau dengerin. Oom nggak usah kemakan omongan dia barusan, Ya.. Dia Cuma lagi emosi tadi. Oom tenang aja..” bujuk Jemma pada Oomnya.
Papa terduduk kembali ke kursinya. Sepertinya setuju.
“Jemma,” panggil Tante.
“Ya tante..” sahut Jemma.
“Tolong, ya…” pinta sang tante. Jemma mengangguk. Jemma beranjak ke atas. Baru itu kejadian Mas Jemi membangkang.
Pintu kamar Jeremi terbuka. Sudah kuduga, pasti Mbak Jemma. Kata Jeremi dalam hati. Jemma mendekati Mas Jemi yang sekarang terduduk lesu di pinggiran ranjang. Jemma pun mendekatinya.
“Udah sadar kesalahan lo?” Mbak Jemma membuka pembicaraan.
“Udah. Gue m`bentak bokap.”
“Bagus kalo lo sadar. Apa lo ngerasa kalo perbuatan lo barusan itu bener..?” pertanyaan ini merupakan pelajaran yang didapatkan Jemma di bangku kuliah. Jemma memang mengambil jurusan psikolog.
“Mmmm.. Ya. Mungkin. Sedikit. Gue ngerasa kalo tindakan gue bener karena bonyok memang terlalu sayang sama anak bontotnya. Bayangin! Anak umur sepuluh tahun dibeliin laptop. Bayangin! Sepuluh tahun!! Apa gunanya coba?” emosi Jeremi naik lagi mengingat kejadian itu.
“Iya.. Iya.. Tenang.. Tenang.. Slow aja. Ada yang perlu lo tau..” Mas Jemi kemudian menatap Mbaknya. Karena Jemma berkata begitu.

“Em.. Sebenernya tadi itu gue yang ngajarin adek lo chatting. Karena menurut gue—adek lo itu nggak punya temen. Jadi nggak ada salahnya dong dia punya temen di dunia maya. Lagian gue juga nggak ngajarin dia untuk minta ke bokap lo buat beli laptop untuk dia. Itu mungkin idenya dia aja..”
Mas Jemi terdiam.
Mbak Jemma melanjutkan kata-katanya.
“Tau nggak, gue yakin Papa lo beliin dia laptop juga punya alasan. Dek Jemi itu nggak punya temen, semoga aja dengan punya laptop dia bisa merasa terhibur dan nggak ngerasa kesepian lagi..”
“Dan sebenernya lo nggak pantas ngiri sama adek lo. Lo punya banyak temen, dunia lo asyik penuh warna. Sedang dia—apa, temen nggak punya, dirumah sepi—paling ngobrol cuma sama Mbok Onah, apa yang perlu lo iri`in..? Dan sebenernya lo itu kakak yang jahat. Tahu adeknya nggak punya temen—tapi lo nggak ngehibur..”
“Ya kan..?” sedari tadi Jemma ngomong Mas Jemi menunduk mungkin semua omongan Jemma seratus persen kebenarannya. Jeremi nggak berkata sama sekali.
Tapi sedetik kemudian, Mas Jemi berdiri seakan membangkang.
“Tapi nggak perlu sampai mbeliin dia laptop termahal kan..?” Mbak Jemma sampai geleng-geleng melihat kelakuan sepupunya itu.

Setelah peristiwa makan malam itu, rasa sebal Jeremi pada adiknya meningkat dua kali lebih sebal dan kesal dari sebelumnya. Apalagi saat Mas Jemi melewati kamar adiknya untuk mengintip, yang didapatinya Jemima sedang diajari kedua orang tuanya cara mengoperasikan laptop itu. Muaklah Jeremi.
Tapi, Mas Jemi tidak begitu perduli karena ada Mbak Jemma, sahabatnya. Bahkan hari itu Mbak Jemma akan menginap disana. Itu sudah bukan hal asing lagi. Mbak Jemma biasanya tidur dikamar Jeremi. Jemma di ranjang, Jeremi di karpet.
Di kamar Jemima, kini tinggal dirinya sendiri. Papa dan Mama sudah pergi. Sekarang nggak ada yang mengganggunya lagi untuk chatting dengan Gian.

: Gian, kamu sedang online?
: Allright then. Wahaha..
Apa Jemi sedang kesepian?
: Yup. Seperti biasa, kakakku selalu iri padaku, padahal
dari dalam diriku nggak ada sama sekali yang perlu ia irikan.
: Ngaco kamu. Semua orang punya kelebihan dan
kekurangan.
: Tapi, yang harusnya iri pada kakakku itu aku. Kakakku
punya banyak teman, dunianya terasa mengasyikkan. Tapi duniaku—duniaku sama sekali nggak berwarna. Bahkan—kau ialah sahabat pertamaku.
: Kakakmu nggak seperfect yang kamu kira kaleee. Tapi
kalau aku jujur—temanku banyak banget. Hampir
semua orang disekelilingku aku kenal.
 : Wow. Kalau gitu aku iri padamu.
 : Aku juga nggak seperfect dugaanmu.
 : Kamu nggak belajar? Kenapa malah online?
 : Kamu sendiri..? kamu jawab dulu ntar aku jawab juga.
 : Aku belum cerita ya.. Aku home schooling alias nggak
sekolah. Jadi aku belajar dirumah. So, aku punya banyak waktu di rumah.
 : kamu nggak dimarahin malam2 ke warnet?
 : warnet apaan tuh? Sejenis wartel ya..?
 : wahahakakakaka. Warnet = warung internet.
 : Aku belum pernah ke tempat yang namanya warnet itu.
Aku pakai internet di rumah.
 : Asyik tuh. Aku nggak punya computer sih. Jadi kalo
main internet di warnet deh. Sekarang aku juga
diwarnet.
 : Kapan2 ajak aku ya. Ohya, kamu malem2 gini masih
keluyuran? Nggak dimarahin tuh sama mama papa kamu? Emang nggak dimarahin karena nggak belajar?
 : Hey, Jemima, kayaknya aku lagi asyik main game
online seal. Besok aku online jam 10 pagi. Ok, see ya..

Yaah.. Gian lagi sibuk. Wah, dunianya dia ternyata asyik juga. Pikir Jemima. Ia sudah diajarkan Papa Mamanya untuk mengoperasikan laptop. Maka kini ia tahu caranya menggunakan laptop barunya. Ia pun mengganti wallpaper dengan gambar dirinya. Pokoknya semuanya bertuliskan namanya, Jemima Wirastika.
Malam ini malam terindah bagi Jemima, dapat teman baru itu ialah hal baru baginya. Semoga saja Gian teman yang baik. Dan semoga kapan-kapan kami dapat bertemu dan bermain bersama ke warnet.
Dan benar saja, malam ini Jemima sampai nggak bisa tidur.



Semenjak peristiwa pembelian laptop terbaru untuk Dek Jemi, rasa benci pada Dek Jemi lama-lama justru bertambah banyak. Dan setiap adiknya itu punya salah barang sedikit saja—ia akan mencak-mencak tiada henti.
Tapi itu tidak begitu diperdulikan Jemima. Ia masih asyik menikmati enaknya punya sahabat. Kini usia persahabatan Jemima dengan Gian menginjak dua bulan. Rencananya mereka akan bertemu tidak lama lagi.

Lebih tepatnya hari ini. Mereka bukan janjian di suatu tempat seperti mall begitu, tetapi Gian akan datang ke rumah Jemima, kebetulan Gian tahu komplek Jemima lagipula Jemima anak yang sulit untuk minta izin ke luar rumah. Orangtuanya terlalu protektif padanya. Mungkin karena kondisi fisiknya lemah.
Saking bahagianya, hari ini Dek Jemi bangun sendiri tanpa bantuan Mbok Onah. Jadi nggak ada alasanan Mas Jemi memarahinya.
“Kamu kenapa sih, sayang, kok tumben bangunnya nggak telat?” Tanya Mama pada anak bungsunya. Mas Jemi yang nggak mau menatap adiknya hanya berkata
“Bagus deh.. Setiap hari aja dia kayak begini—jadi aku nggak telat deh..” sebenarnya kata-kata Mas Jemi itu menyakitkan Jemima, tapi ia hanya diam saja.

Pukul delapan pagi sudah dapat dipastikan semua orang di rumahnya sudah berangkat semua. Hanya tersisa Jemima dengan semua pembantunya. Hal itu dipergunakan Dek Jemi untuk chatting dengan Gian seperti biasa, lelaki itu sedang online.
Dan disaat itulah mereka janjian untuk bertemu.
Dek Jemi dengan sabar menunggu kedatangan sahabatnya, Gian. Dek Jemi duduk diayunan yang letaknya amat strategis, jadi kalau Gian datang Dek Jemi langsung dapat melihatnya.
Kira-kira pukul setengah sembilan, seorang anak laki-laki yang disangka Gian itu datang.
Letak ayunan tempat Dek Jemi duduk sangat dekat dengan gerbang rumah, maka, ketika Gian datang, Dek Jemi langsung tahu.
Gian berdiri didepan gerbang minta dibukakan. Gian itu orangnya gendut dan tampang orang baik-baik. Dek Jemi menghampiri gerbang dan Gian berkata,
“Kita pergi, Yuk,”
“Mau kemana memangnya?”
“Akan kutunjukkan duniaku,” setelah Gian menjawab begitu, Jemima berkata bahwa ia akan meminta izin dahulu dari Mbok Onah. Dengan mudah, Dek Jemi mendapatkannya. Karena Mbok Onah tahu betul Dek Jemi yang selama ini terkekang membutuhkan sesuatu yang disebut, “penyegaran”.
Tetapi yang terlupa oleh Mbok Onah ialah menanyakan hendak kemana gadis kecil itu.
Anak laki-laki yang bernama Gian itu sudah berada di hadapan Jemima. Tidak berbeda jauh dengan yang dibayangkan oleh Dek Jemi, pria yang berbadan tambun dan senyumnya terasa amat melegakan.
“Aku senang bertemu denganmu,” kata Gian mengawali pembicaraan.
“Ngg.. Aku juga,” jawab Dek Jemi yang mulai bingung mencari bahan pembicaraan.
“Ternyata kamu ini benar-benar sama sekali nggak punya teman, yah. Aku baru percaya,” “Tahu darimana kamu?” “Dari tatapan matamu yang kayaknya tuh kosong banget. Terus, kamu juga nggak bisa nyari bahan pembicaraan kita. Ya`kan?” Gian menuding Jemima seperti itu.
“Iyah. Kamu tahu saja, maaf ya..” jawab Jemima benar-benar polos. Namun sepertinya Jemima mulai terbiasa dengan obrolan mereka dan hal seperti itulah yang benar-benar Jemima nikmati. Sebab belum tentu setiap hari ada orang yang benar-benar menghargai keberadaannya.

“Sekarang, mau kemana kita?” Tanya Gian setelah lima menit mereka berjalan bersama.
“Kalo nggak salah, waktu itu kamu janji nunjukin aku yang namanya warnet deh..”
“Oh iya. Tapi nggak bisa pagi ini. Untuk mendapatkan yang kita mau, kita harus kerja dulu tahu..”
“Maksudnya?”
“Ya kita kerja dulu, baru bisa dapatkan uang, baru kita ke warnet.”
Kemudian Dek Jemi terdiam sesaat. Papa dan Mama setiap pagi selalu menyempatkan makan pagi bersama dua anaknya, mereka sebelum berangkat ke kantor, mereka selalu pamit pada Dek Jemi dengan berkata, “Mama dan Papa kerja dulu, ya..”
“Jadi sekarang kita ke kantor Mama dan Papa aku?”
Tertawalah Gian. Dek Jemi menatap Gian dengan tidak suka.
“Ha..Ha..Ha.. Pengetahuan kamu tuh ternyata sedikit sekali ya. Pasti kata ‘kerja’ sepengetahuan kamu itu identik dengan ke kantor. Padahal itu salah besar. Pokoknya—kerja itu sesuatu hal yang kita lakukan dan menghasilkan uang. Begitu.”
“Papa dan Mama sebelum berangkat ‘kerja’ selalu makan terlebih dahulu. Kita nggak makan dulu sebelum kerja?”
Gian untuk kedua kalinya tertawa lagi.
“Kalau dalam kamusku, kita kerja dahulu baru makan. Ayo!” ajak Gian semangat dan dengan semangat pula ia menarik tangan Dek Jemi.
“Tunggu!!” tiba-tiba Dek Jemi memberhentikan langkah mereka berdua. Langkah Gian pun ikut berhenti pula dan wajahnya menunjukkan tanda Tanya besar mengapa Jemima memberhentikan langkahnya.

“Nggak usah nunggu kerja baru makan. Makan aja di rumahku. Rumahnya banyak makanannya kok.”
Kali ini Gian tidak tertawa melainkan hanya tersenyum penuh arti.
“Kehidupanmu berbeda dengan kehidupanku. Kau nggak akan mengerti sebelum kamu menjalankannya sendiri. Tiap hari kamu selalu hidup berkecukupan tanpa kekurangan satu pun. Hari ini kamu akan belajar untuk mensyukuri apa yang telah Tuhan beri.”
Dek Jemi terdiam kira-kira delapan detik.
Diam karena tidak mengerti.
“..kamu ngomong apa sih?”

Gian menghela napas seolah dalam hati berkata, “aduh bo capek deh..”. tapi ia juga maklum karena Dek Jemi belum pernah yang namanya sekolah. Dan juga umurnya masih sepuluh tahun.
“Aku akan ngajak kamu ke duniaku.” Katanya sembari benar-benar menarik tangan Dek Jemi. Dek Jemi hanya bisa tersenyum dan mengikuti saja. Karena ia tahu, hari ini akan menjadi pelajaran terbesarnya.



Sementara itu, di hari dan di waktu yang sama namun berbeda tempat, yakni di rumah Dek Jemi, orang-orang rumah itu sama sekali tidak menyadari bahwa si bungsu belum juga kembali ke rumah. Semua orang dirumah itu yakni para pembantu rumah tangga, sibuk dengan urusan dan tugasnya masing-masing. Hingga seolah-olah tidak perduli.
Pukul setengah sepuluh. Tidak berbeda dengan hari-hari lain, hari ini guru home schooling pribadi Dek Jemi sudah dating dan duduk di ruang tamu. Ia bernama Bu Jannete, masih cukup muda dan belum menikah, ia sangat cantik. Tidak heran ia selalu sibuk mengangkat telpon dari penggemar-penggemarnya. Terkadang Dek Jemi amat kesal apabila ia dilupakan oleh guru yang sedang tiada henti mengangkat telpon.
Seperti hari ini.
Bu Jannete kini sedang duduk di ruang tamu keluarga, sedang ditelpon oleh Hadi, salah seorang penggemar yang rela buang-buang pulsa untuk menelpon dirinya.
Seorang Bibi mengantarkan minuman untuk guru yang memang pintar itu. Melihat guru itu sedang sibuk bicara di telpon, si Bibi hanya mempersilahkan Bu Janneta untuk minum.
“Oke Bi. Makasih banyak ya, muach..” ujar Bu Jannete genit. Si Bibi hanya tersenyum.
“Oh nggak kok sayang.. Tadi itu aku ngomong sama pembantu yang kerja di rumah majikan aku tahu.”
“Hah? Kamu ngira tadi aku nyium cowok?? Kamu mau bilang aku ini selingkuh, iya?? Kamu jahat banget sih, Hadi, emang aku ini cewek apaan?! Aku nggak mau ketemu kamu lagi..! aku minta putus..!” tiba-tiba hubungan telpon dari Hadi itu terputus.
Dengan langkah genitnya, Bu Jannete melangkah pasti menuju suatu ruangan yang memang dikhususkan untuk Dek Jemi belajar. Dalam hati, Bu Jannete berkata, “Akhirnya, aku menemukan hal yang bisa membuat si brengsek itu berhenti membual..”
“Eh.. tapi aku emang selingkuh sih. Hehehe..” tawa renyah Bu Jannete.
Bu Jannete kini berada di ruangan belajar. Belum ada Dek Jemi. “Aduuh. Dek Jemi ini, sama sekali belum ada kesadaran untuk belajar. Belum berubah dia. Masa aku harus mengejar dia ke tempat persembunyiannya di lemari bajunya?!”
Ia melanjutkan mengeluhnya.
“Huh, emang ini kendala ngajarin anak yang sama sekali belum pernah ngerasain yang namanya bangku sekolah, nggak ngerti tentang peraturan. Kalau belajar disekolah, setidaknya ia belajar disiplin. Aku juga nggak mungkin nerapin sanksi tegas sama dia—bisa-bisa aku di pecat. Dan, OH! Jatah belanjaku bisa berkurang. Oh, No. No.”
Nggak lama setelah Bu Jannete mengeluh terus menerus, hp-nya yang lain berdering. Kali ini dari Mirza. Pria tajir yang ganteng dan pernah membuat Bu Jannete tergila-gila padanya. Karena Mirza tampan dan Bu Jannete menyukainya, mereka kemudian terlibat pada obrolan yang asyik dan itu membuat Bu Jannete lupa tujuan awalnya datang ke rumah itu. Yakni untuk mengajari Dek Jemi ilmu pengetahuan.
Bu Jannete benar-benar lupa daratan jika sedang berbicara dengan Mirza. Karena, ia benar-benar jatuh hati dengan pria Batam itu. hingga untuk kesekian kalinya, Bu Jannete ngobrol ngalor ngidul dengan pria-pria kekasihnya dan sama sekali tidak sadar dia lupa tugasnya.
Pembicaraan antara Bu Jannete dengan Mirza hampir tiga jam.
“Kau mau menjemputku? Betulkah itu?”
“Sebentar ya, aku mau bicara dengan anak muridku.” Bu Jannete menjauhkan gagang telpon yang sudah panas itu dari telinganya dan disekelilingnya tidak nampak Jemima.
Karena Jemima tak nampak batang hidungnya, Jannete mendekatkan kembali gagang telpon itu ke telinganya.
“Muridku sudah selesai ku ajar. Jemput aku di rumah Jemima ya..” hubungan telpon terputus. Bu Jannete tanpa rasa bersalah menuju ruang tamu. Sebenarnya, Bu Jannete itu mengira ia sudah mengajar Jemima. Hal seperti itu sering terjadi pada Bu Jannete yang terlewat pintar.
Sembari menunggu jemputan, muncul Mbok Onah.
“Bu, tumben belajarnya cepat..” sapanya.
“Iya Mbok. Kasihan Dek Jemi kalau terlalu dipaksakan,” Mbok Onah rupanya hendak keluar rumah. Lalu terlintas dalam benak Bu Jannete, “Aku sudah ngajar Jemima belum ya..?” namun pertanyaan itu sudah kabur tatkala muncul mobil keren milik Mirza mulai menyalakan klakson.
Kini sudah pukul satu.
Tahukah kalian apa yang Jemima perbuat selama hampir empat jam sejak kepergiannya dari rumah? Jemima kini sedang membantu delapan anak lain seusianya menganyam bilik bambu menjadi barang yang menarik untuk dibeli.
Ternyata, pekerjaan Gian itu setiap hari seperti ini. Gian dan kawan-kawan tidak seberuntung Jemima. Sejak lahir Gian dititipkan dipanti asuhan. Disanalah, mereka diberi keahlian dan dapat membuat barang-barang dari bambu,
Teman-teman Gian amatlah banyak, selain yang membuat barang-barang dari bilik bambu, ada juga teman-teman Gian yang lain, yang tugasnya menjual barang-barang yang sudah berhasil dibuat.
Dari Gianlah Jemima belajar banyak mengenai arti hidup.
Tapi, yang terpenting ialah, Jemima kini sudah punya banyak teman. Dan kini, Jemima sudah bisa mencari teman. Cukup dengan berkata, “Hallo,” orang-orang yang ditemuinya pasti mau jadi temannya.
Kira-kira pukul dua siang, teman-teman Gian yang bertugas menjual hasil kerja mereka telah kembali dan membawakan sesuatu. Yakni makanan untuk mengenyangkan perut mereka yang kosong.

“Tuhkan` sudah kubilang, dalam kamusku, ‘kerja dulu baru makan’,
sekarang kau sudah mengerti`kan?” Tanya Gian pada Jemima yang sedang makan nasi bungkus.
“Iya. Aku mengerti.”
“Gian, aku mau Tanya, warnet itu mirip dengan wartel`kan?”
“Iya.”
“Jadi kalau ke tempat yang namanya warnet itu harus bayar juga`kan sama seperti pergi wartel?”
“Ya iyalah..” jawab Gian. Tapi kali ini dijawab beramai-ramai anak-anak lain yang bingung karena pertanyaan Jemima dari tadi aneh betul.
“Mana ada didunia ini yang gratis..” timpal anak lain sedikit kesal.
“Ya wajarlah teman-teman, kita sama dia`kan beda nasib,” ujar Gian.
“Lalu, yang mau kamu tanyakan, apa?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar