Terima kasih Avony
Bola basket itu terus berputar-putar di udara. Sang pemilik bola memang terlihat mahir menguasai permainan itu. “Fuih, well, hari ini gue cabut lagi. Nggak ada tempat di dunia ini yang nerima gue apa adanya! Semua ngejauhin Icel!” gumamnya, “ini gara-gara keluarga gue,” dan berkata lagi, “gue benci keluarga gue!” dan bola itu dilemparkan sekuat tenaga oleh laki-laki itu. Bola itu berhenti bergelinding, dan Icel mengambil bola itu kembali setelah puas menghempaskan bola itu..
Laki-laki yang bernama asli Marcell itu memikirkan hendak kemana ia, jam menunjukkan pukul delapan. Hari ini dia absen ke sekolah, atau yang biasa dikenal di kalangan pelajar dengan ‘cabut’ dan itu ialah alasan masih berseragam putih abu-abu.
Maka Icel memutuskan menuju ke sebuah lapangan basket di sudut perumahan.
Mulailah dia mendribel, memainkan bola kesana kemari, keatas-bawah, melewati punggung, lengan, kepala sesuka hati. Tak jarang pula Icel mengarahkan bola basketnya itu ke ring. “Mungkin dalam pelajaran gue lemah super parah stadium empat. Tapi kalau soal basket, Adri aja pasti kelenger sama gue,” ujarnya sedikit sombong dan memang cuma basket sajalah satu-satunya yang dapat dibanggakan dari diri Marcell. Adri ialah siswa teladan disekolah Marcell.
Kalau sudah main basket, Marcell bisa lupa dunia. Bisa lupa kalau kehidupan sosialnya melenceng jauh dari taraf manusia normal. Lupa kalau Surat Peringatan sudah menghampirinya lebih dari dua kali, lupa kalau keluarganya hancur lebur berantakan, lupa kalau teman-teman di sekolah menjauhi dirinya karena black list langsung dari Kepala Sekolah. Yang terpenting, lupa pada seluruh kesengsaraan yang menghampiri seumur hidupnya yang mau menginjak tujuh belas tahun itu.
Dua puluh menit kemudian keringat mulai membasahi kaos oblong putihnya. Ia pun mengusapnya dengan handuk kecil lalu menuju sebuah warung kecil untuk membeli makanan ringan. Marcell pun segera memesan air mineral tidak dingin, minuman pengganti ion tubuh untuk mengembalikan stamina kembali juga sebungkus rokok. Cowok itu kemudian duduk dan menikmati minuman yang menyegarkan itu.
Ketika ingin membayar dua jenis minuman serta sebungkus rokok yang ia beli, sang penjaja air mineral iseng-iseng berkata, “Kok nggak sekolah, Dek? Sudah pulang? Kan’ baru jam setengah sembilan kurang?” tanya ibu itu. Secara spontan cowok itu marah kalau ada yang ikut campur dalam urusannya apalagi yang ikut campur itu orang asing yang nggak kenal seluk beluk, latar belakang keluarganya.
“Heh… apa-apaan sih? Lo itu bukan ibu gue! Ngga usah sok-sok ngatur deh, Ibu gue aja nggak pernah ngatur-ngatur hidup gue,” jawabnya dengan sengit lalu bergegas meninggalkan warung. Ibu penjaga warung itu juga menggerutu, “Huh. Dasar bocah bau kencur. Baru SMU sudah belagak. Belum tentu sukses di masa depannya. Dan dijamin anak muda macam kayak dia cuma jadi sampah masyarakat,” umpatnya. “masih muda saja sudah menggerogoti tubuhnya dengan batangan rokok, huh! Amit-amit jabang bayi deh anakku kayak gitu,”
Ngapain sih tuh ibu sok-sok ngatur. BETE!!! Bikin ilang hasrat gue buat main basket aja! Icel kembali ke lapangan dimana tas, bola basket, dan handuknya berada. Di saat itu pula dilihatnya ada anak perempuan sedang bermain basket. Yah bisa dibilang permainan anak-anak. Benar-benar permainan bocah dan memalukan. Tangan masih kaku memegang bola. Dribel-nya nggak beres. Shoot-nya ngaco super sangat. Lay up-nya juga parah pangkat tiga.
Icel melirik bangku. Rupanya bocah cewek itu memakai bola miliknya. Karena suasana hati Icel lagi buruk dia langsung menghampiri anak itu dengan tatapan sengit bersiap memarahinya.
“Heh! Apa ibu kamu nggak ngajarin kamu supaya bisa minta ijin sebelum meminjam barang orang lain? Apalagi sama orang yang nggak dikenal, hah?” bentak Icel dengan tangan bertolak pinggang dan mata melotot.
Dengan malu-malu sang gadis memalingkan muka ke Marcell. Nampaknya merasa bersalah menggunakan bola itu tanpa tahu siapa pemilik bola. Dan ternyata pemilik bola itu lebih galak daripada polisi yang mengejar maling kelas kakap.
“Maaf..” cewek itu menunduk dan memeluk bola Marcell.
“Maaf-maaf nggak tau sopan santun. Dasar cewek nggak punya tata karma. Sini,” Icel marah besar dan mengambil bola dengan kasar dari dekapan gadis kecil itu. Icel yang sedang menghisap rokok segera membuang rokok yang baru saja dihisapnya.
“Tapi kan aku udah minta maaf. Aku juga nggak tau kalau yang punya galak. Kalau tau…” omongan sang gadis segera dipotong Icel.
“Apa? Berani amat lo bilang gue galak,” kesal Icel.
“Ya udah deh. Aku ngaku salah. Pinjam bola itu nggak bilang terlebih dahulu. Tadi aku cuma lewat lapangan ini, terus bola ini jatuh ke jalan. Ya aku ambil daripada ditabrak mobil. Aku nggak berniat ngambil kok. Berani sumpah. Aku juga nggak bisa main kok, cuma iseng...” mata anak itu menunjukkan rasa bersalah. Sekarang Icellah yang merasa bersalah, ngamuk-ngamuk nggak jelas sama cewek itu. Apalagi cewek itu masih polos, nggak berani membantah, dan ketakutan karena gertakkannya. Kayaknya nih cewek masih SMP. Ini gara-gara ibu-ibu penjaga warung yang membuat hati Icel kesel dan dongkol.
Icel memutarkan bola matanya lalu menatap gadis itu.
“Iya-iya. Udah lupain aja. Lo jangan ketakutan gitu, gue orang baik kok. Tadi gue lagi kesel aja ada orang aneh yang ngomel-ngomel nggak jelas ke gue. Padahal kenal juga nggak. Terus bola basket gue dimainin orang yang nggak gue kenal tanpa izin. Sorry.. Gue kelepasan,” Icel tersenyum. Gadis itu pun membalas senyum itu.
“Duduk yuk ngobrol sebentar..” ajak Icel. Mereka kemudian duduk di tepi lapangan.
Karena tadi Icel membuang rokoknya maka ia kini mengeluarkan rokok baru dari saku. Gadis itu mengamati orang yang tidak dikenalnya dengan tatapan aneh. Icel pun merasakannya. “Kenapa sih? Ada yang aneh dari gue?”
“Kakak masih SMU kok ngerokok?” tanyanya polos. Marcell Idrin dibuat ketawa karena kepolosannya. Biasanya kalau ada yang ikut campur atau kasih pendapat tentang kehidupannya, Icel bakalan marah besar. Tapi karena yang nanya polos banget. Dia batal ngamuk justru geli lihat tatapan aneh adik kecil sok tau itu.
“Ha..ha.. polos banget sih lo..” Icel hanya menjawab seperti itu.
“Uhuk..uhuk.. Perokok pasif kena akibatnya juga, Kak. Sekali ini aja, kakak tolong matikan rokok itu..” ia mulai terbatuk-batuk lalu meminta Icel untuk mematikan rokoknya.
Icel memandang ke arah batang rokoknya. Untuk kedua kalinya dalam sehari dia mematikan batang rokok yang masih baru. Dia menghela napas dan membuangnya kebelakang, gadis itu langsung tersenyum puas. “Puas?” gadis itu mengangguk.
“Nama kakak siapa?” Icel mengulurkan tangan dan berkata dengan senyum lebar,
“Marcell Idrin. Panggil aja Icel..”
“Aku Avony,” si Avony itu terus tersenyum. Kemudian terdengar tawa Icel. Gadis bernama Avony itu memandangi Icel dengan tanda tanya besar dikepalanya.
“Nama lo aneh,”
“Ih, jahat banget sih. Nama asliku Avianny Miranda. Avony itu panggilan Alfon untuk aku. Dia itu saudara kembarku,” terang Avony. Icel hanya mengangguk. “Kakak kok nggak sekolah? Pasti cabut, apa hari ini ada pelajaran yang kakak nggak suka?” ih, nih bocah, udah bego main basket juga sok tau amat sih. Gumam Icel dalam hati, tapi nih bocah juga ngegemesin. Hihi.
“Iya gue cabut.” Hanya itu penjelasan Icel.
“Ya cabut kenapa?” Avony mendesak. Icel kembali memutar matanya serta merta bangkit berdiri dan mengambil bola basketnya. “Avony, main basket yuk, tadi permainan lo itu payah banget...” ejek Icel berupaya mengalihkan pertanyaan Avony yang satu itu. Terlihat Avony sedikit sedih diejek tapi kemudian ia berdiri dan bersedia dilatih Icel.
Avony-Icel bermain basket berdua. Icel mengajarkan dasar-dasar permainan basket. Benar-benar dasar untuk bocah yang nggak punya dasar dalam permainan bola basket. Dan benar saja baru beberapa menit dilatih Avony merasa kelelahan dan menjatuhkan diri ke tanah.
“Capeeek istirahat sebentar ya…” Icel mengangguk. Namun Icel tidak istirahat justru menunjukkan kebolehannya memutar bola di jari telunjuk lebih dari empat menit tanpa berhenti berputar. Avony nyaris pingsan terpana melihat pemandangan itu. Icel menghampiri Avony. Dan menyodorkan uang lima puluh ribu pada Avony. “Kalau capek, beli aja minuman di warung kecil disitu, gue juga titip air mineral yang nggak dingin ya…” Kata Marcell. Dengan senyum kecil Avony meninggalkan lapangan.
Tak lama setelah kepergian Avony, Marcell pun kelelahan. Ia duduk dibangku dan menaruh basket dibawah kaki. Tanpa sadar ia bergumam, Terima kasih Tuhan, telah mengirim seorang Avony untukku. Walau sebentar aku sangat bersyukur. Aku terhibur, ada yang memperhatikanku, ada yang mau ngobrol, mau mendengarkan ocehanku. Bahkan orang tuaku saja tidak mau mendengarkan keluh kesah anaknya sendiri.
Avony pun datang dan menyerahkan pesanan Icel lalu duduk disamping Icel.
“Lo sendiri kelas berapa? Kenapa nggak sekolah?” tanya Icel.
“Kelas 1 SMP. Aku izin karena nanti siang mau ke rumah sakit untuk check up..”
“Ooh, Emang kamu sakit apa?” Avony menunduk.
“Ada penyempitan dilambungku, Kak. Sebenarnya aku nggak boleh berolah raga, tapi untuk hari ini aku ngeyel..” seketika Vony ketawa.
“Loh kenapa gak bilang? Jadi tadi gue gak ajak lo main basket..” setelah dipancing seperti itu Avony mau bercerita. “Aku kepengen main basket, Kak. Aku pengen inget masa-masa aku sama Alfon masih bersama. Dia suka banget main basket. Dia juga sering ngajarin main basket ke aku. Kayak tadi yang kakak ajarkan ke aku,” senyum Avony menunjukkan kelegaan dan ketulusan dari seorang bocah kelas 1 SMP.
“Masa-masa sama kembaran lo? Emang sekarang si Alfon itu kemana?”
Barulah Avony menangis setelah ditanya seperti itu. Dan menutupi wajah dengan tangan. Icel seketika bingung emang dia telah berbuat apa dan apa yang harus ia lakukan.
“Kok nangis sih? Kakak salah ngomong ya?”
“Aku.. aku.. aku ingat Alfon. Dia baik banget, perhatian, tapi.. tapi.. tapi sekarang dia udah bareng mama di surga..” isak Avony tanpa henti. DHUAR!! Rasanya seluruh pembuluh darah di organ tubuh Marcell berhenti sesaat. Dia merasa bersalah menanyakan tentang Alfon. Rupanya Alfon sudah meninggal bahkan Avony pun seorang piatu.
“..dia.. dia.. meninggal kecelakaan mobil bareng mama..” terangnya lebih lanjut. Cowok tujuh belas tahun itu mengumpulkan segenap keberaniannya untuk mengelus rambut Avony. “Ya kalau gitu Avony jangan nangis, kasihan Alfon sama mama Avony kalau melihat Avony menangisi kepergian mereka. Avony sayang kan sama mereka? Jadi jangan nangis lagi..” ternyata Icel bisa berbuat baik penuh kelembutan dengan tulus ikhlas pada gadis 12 tahun yang baru dikenal beberapa menit yang lalu.
Tangis Avony berubah senyum.
Dan memandangi Icel. “Alfon juga pernah ngomong begitu sama aku. Persis sama yang kakak bilang barusan. Waktu itu aku nangis karena Serena hamsterku mati..” tawa itu penuh kepolosan. Hati Icel kini lega. Tapi agak dongkol ajah, hamster aja kok di nangis`in. namun urung ia sampaikan. “Sekarang kak Icel dong yang cerita..” pinta Avony. Lalu mulailah Icel bercerita panjang lebar.
“Kehidupan Kak Marcell ya…? Kehidupan gue datar. Keluarga gue juga nggak pantas dibilang keluarga karena nggak saling mengenal. Semua sibuk mengurusi urusan masing-masing. Gue juga udah terbiasa. Tapi kadang gue sedih kalau inget mami papi sudah cerai tiga tahun terakhir.”
“Semenjak cerai mami nggak punya pekerjaan yang jelas hanya mengandalkan uang kiriman papi. Gue muak ngelihat dia,” omongan Icel menampakkan kemarahan yang disembunyikan dan tertanam kuat bertahun-tahun dihatinya.
“Itu belom selesai Avony, gue dan kakak tertua gue juga anak yang nggak berguna. Yogi, kakak tertua, tapi dia nggak naik kelas dua tahun. Sekarang dia baru kelas tiga SMA. Kerjaannya cuma ngetrek mobil. Tapi dari keluarga gue cuma kakak perempuan gue yang bisa di banggakan, namanya Putria bintang sekolah gue. Itulah kehidupan gue,” Icel justru tertawa kecil mencoba membuat dirinya tegar walau dalam sejujurnya ada kekosongan dan kehampaan hati yang ingin segera diisi. Ia memalingkan wajah ke arah Avony. Dan baru sadar bahwa gadis itu menangis mendengar kisahnya.
Dalam hati Marcell berkata, ‘Ih nih bocah cengeng amat sih. Hamster mati nangis.. Sekarang baru denger cerita segitu doang juga nangis,’
“Sekarang nangis kenapa lagi?” Avony mengusap air matanya.
“Aku gak percaya kak Icel bisa tahan dengan kondisi seperti itu. Aku salut. Selama ini aku pikir Tuhan nggak adil sama aku. Mama dan kembaranku dipanggil-Nya. Aku merasa menjadi orang tersedih didunia. Sementara kakak dapat tahan dalam kondisi seperti itu. Aku akan berusaha untuk sekuat kakak,” dia nggak nangis lagi. Justru bagi Avony, Marcell ialah penyemangat untuk hidupnya yang hampa ditinggal saudara kembar dan ibunya.
Namun dalam hati Icel berkata, ‘nggak semudah yang kau kira, Von. Kehidupan gue sesungguhnya lebih mengerikan dari mati sekali pun’, namun urung dinyatakan.
“Kakak harus survive dalam keadaan seperti itu, kakak akan menjadi orang yang kuat..” kata Avony lagi. Icel tersenyum memandangi Avony yang manis sekali kalau ketawa. Dan senyumnya itu melegakan bagi Marcell.
Tiba-tiba ada sebuah mobil berhenti di pinggir lapangan. Disertai kemunculan seorang bapak keluar dari dalam mobil yang mengenakan setelan jas rapi dan berkata sedikit lantang,
“Avianny.. disini kamu rupanya. Ayo ke rumah sakit. Kenapa kamu di lapangan basket? Jangan katakan pada papa kamu bermain basket?”
Avony dan Icel memandangi lelaki itu. Avony memandang Icel. “Kak, itu papa Avony. Kayaknya check up-nya sekarang deh. Tolong doa’kan Avony ya. besok Avony ada operasi kecil. Juga doa’kan untuk Alfon dan mama Avony agar masuk surga..” pinta Avony dengan memegang tangan Icel.
“Iya. Kak Icel janji… Semoga sukses ya, operasinya…” Avony mengangguk dan berteriak ke papanya, “Nggak kok, Pa. Avony nggak main basket…” gadis kecil itu menghampiri mobil papanya. Papa Avony bahkan sempat menatap Icel namun hanya sesaat. Mobil itu pun menghilang dari pandangan.
Icel tertawa nggak percaya. Kok gue kayak dihipnotis ya? Sama bocah itu gue nggak bisa marah. Maunya senyum terus, maunya cerita terus, semoga lain waktu gue ketemu lagi sama senyum manis Avony yang melegakan sekali lagi. Tuhan, izinkanlah aku bertemu disuatu hari nanti dengan Avony. Aku ingin senyum ramahnya. Icel tersenyum sendiri mengenang pertemuan singkat itu. Namun berarti. Sangat berarti. Kehidupannya pasti akan berubah. Dia ingin merubah keluarganya, dan menjadikan dirinya, papi, mami, Yogi, dan Putria menjadi keluarga normal.
Sesaat, dia hendak meninggalkan lapangan, Icel tersenyum lagi memandangi lapangan basket tersebut. Gara-gara lapangan ini dia bertemu Avianny Miranda. Yang merubah kehidupan sosialnya dalam hitungan menit. Dan hanya satu kalimat untuk Avony yang belum sempat diucapkannya pada Avony. Dan semoga lain kali ia masih sempat berjumpa dengan Avony untuk berkata, “Terima kasih untuk semuanya,”
TAMAT
Sabtu, 29 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar