Sabtu, 29 Agustus 2009

rafa dan veronia

Ibu Tiri itu Sangat Baik


Ooh, rupanya Darmawan—pikir oma setelah mengangkat telepon yang ternyata dari anak semata wayangnya yang sudah memiliki seorang anak. “Mam, besok suruh Rafa untuk kerumahku yang di mangga dua ya!” katanya.
“Lho, kamu udah balik dari dari Padang ya?”
“Iya neeh, mam. Mam, maaf ya, aku nggak bilang. Disana aku udah married.”
“Apa? Menikah? Kok tidak bilang sebelumnya dengan mami? Dan juga dengan anakmu? Tidak sopan benar kau ini—tidak menghargai mami dan Rafa!!” ucap oma.
“Maaf mam. Pernikahan ini bergerak cepat. Kapan-kapan Darmawan ke rumah mami deh—Darmawan akan cerita segalanya. Tapi tolong beri tahu anakku ya. Mam!” tiba-tiba hubungan telepon terputus. Asataga!! Pernikahan itu upacara sakral. Kok, seolah Darmawan menikah tanpa pikir panjang? Dasar, tanpa memberitahu pula. Dia anggap apa aku ini? Aku ini ibu kandungnya. Yang melahirkannya. Kok menikah tanpa persetujuan dariku? Bahkan aku belum melihat menantu baruku.
Kasihan Dar—istri pertamanya meninggal akibat kecelakaan pesawat. Padahal itu istri yang paling dicintainya. Anaknya kala itu berumur tujuh tahun. Tapi semenjak kecelakaan itu—Dar kelihatan selalu murung. Dari dulu sudah kuberitahu untuk mencari isteri baru. Namun baru sekarang kesampaian. Dan menikah tanpa bilang-bilang. Kurang masuk diakal.
Sekarang yang jadi masalahnya ialah pada Rafa, bagaimana bicaranya bahwa ayahnya sudah menikah lagi? Dia mungkin sudah sedikit lupa dengan wajah ayahnya. Karena kalau ngga salah terakhir berjumpa setahun yang lalu. Dar selalu keluar kota. Rafa, Rafa, cucuku—semoga kau bisa cocok dengan ibu barumu.


“Rafa, Rafa, kamu dimana, sayang?” tanya oma pada seluruh rumah. “Sedang main basket didepan, oma!” jawab salah satu pembantu. Oma menuju depan rumah. Dan benar, ada kira-kira empat orang asyik mendribel bola masing-masing. Di depan rumah oma dipasang ring basket karena Rafa amat suka basket. Padahal usianya baru 12 tahun.
“Rafa, kemari..” panggil oma. Rafa menghindar dari temannya dan mendekati oma. Rafa selama ini tinggal dengan omanya.
“Ada apa, Oma?” tanya Rafa sambil terus mendribel bola.
“Kamu besok kerumah papa kamu yang dimangga dua, ya?”
“Untuk apa?”
“Oma baru ditelpon papa kamu. Papa kamu sudah menikah di Padang, sekarang kamu harus bertemu mama baru kamu. Besok kamu ijin aja nggak masuk sekolah dan ke rumah papa.” Rafa nampak termenung. Muka ayahnya dia sedikit lupa. Tapi biar cepet, dia jawab aja.
“Beres Oma.” Dan menuju temannya.
“Bokap lo udah punya istri? Bagus dong, sekarang berarti lo udah punya ibu. Dan lo nggak bakal diketawa’in anak-anak lagi.” Ujar Vanadi temannya yang baik abis deh—dan keren main basketnya. Bahkan Vanadi juga pelatih gratis Rafa.
“Yoi. Sekalian—besokkan ada pelajarannya Pak Iyan. Gue besok bolos dong!” ujar Rafa bangga. Kemudian dua temannya Dimas dan Jerry ikut tertawa.
Pukul enam, tiga teman Rafa udah pulang. Rafa masih asyik mendribel bola sampai kamarnya. Begitu masuk—anjing kesayangannya menjulur-julurkan lidah dan menggoyang-goyangkan buntutnya yang putih bersih itu—tanda mengajak bermain majikannya.
“Aduh, sory ya friends—Rafa hari ini capek banget neh, besok aja ya, mainnya.” Rafa yang baru kelas 1 SMP itu merebahkan diri keranjang. Semilir udara AC amat terasa. Akhirnya anjing yang bernama Smooky itu tidur disamping ranjang.
Wah, berarti gue besok bakal ketemu nyokap baru. Gimana yah—ibu tiri’kan identik dengan yang jahat-jahat, gimana kalo nyokap baru gue galak? Gimana kalo papa ntar udah nggak sayang sama Rafa? Gimana kalo ntar Rafa disuruh tinggal di rumah sana, nggak bareng oma lagi. Rafa udah sayang banget sama oma. Rafa udah sayang dengan Bekasi. Temen-temen Rafa disini semua. Alfon, Vanadi, Gunawan, Dimas banyak deh. Juga Dresty. Gebetan gue.


“Ingat ya, Fa. Kamu turun distasiun mangga dua. Terus dari sana kamu naik taksi lalu beri alamat rumah ayahmu. Kamu punya kartu nama papa’kan?! Kamu jangan sekali-kali mengeluarkan dompet, Hp atau barang berharga lainnya di kereta.” Rafa mengangguk. Iya, oma. Rada sebel punya oma sebawel itu, tapi oma berjasa banget bagi hidup gue.
Salahnya oma terlalu khawatir sama gue. Gue’kan udah SMP, udah gede. Rafa menaiki ojek untuk ke depan komplek. Baru sesudah itu naik angkutan umum menuju stasiun Bekasi.
Lalu Rafa membeli tiket kereta ekspres ke tujuan kota. Kebetulan kereta ekspres kala itu sepi. Jadi aman-aman saja. Nggak perlu takut-takut mengeluarkan Hpnya atau barang-barang berharga lainnya. Tidak banyak hal yang dilakukan Rafa di kereta express itu. Habis orang-orang disekelilingnya tidak ada yang dikenal. Selain itu duduknya berjauhan. Lalu sekitar empat puluh lima menit kemudian ada suara berdengung, dari gerbong terdepan.
“Stasiun berikutnya stasiun Mangga Dua. Bagi yang hendak turun dipersilahkan mempersiapkan diri dan jangan sampai ada barang tertinggal. Terima kasih..” itulah pemberitahuan.
Setelah mendengar itu, Rafa meyakinkan dirinya bahwa dia harus turun di stasiun ini. Maka dia mempersiapkan diri, dan berpindah tempat duduk ke tempat yang dekat dengan pintu. Lalu tak lama, kereta mulai beranjak berhenti. Kemudian pintu secara otomatis terbuka.
Rafa keluar. Memang disinilah harusnya dia turun. Hah, tenangnya. Kalau udah sampai disini, gue sih tenang-tenang aja. Udah nggak usah takut kesasar lagi. Soalnya tinggal kasih alamat ke supir taksi terus tinggal sampai. Rafa kemudian mengeluarkan dompet dan mengambil uang pecahan dua puluh ribuan dan membeli beberapa snack ringan ke sebuah kios makanan.
“Beli taro ukuran besarnya dua, fruit tea rasa mango, juga pepsi bluenya.” Dan memberikan uang itu. Mata anak kelas 1 SMP itu melihat di kios itu juga menjual hot dog dan pizza ukuran kecil.
“Sama hot dog, dan pizza ukuran sedang ya, satu!” lumayan bisa dimakan waktu di taxi. “Hot dog sama Pizza-nya yang panas ya..” tambahnya lagi. Si penjual makanan memberikan kantung plastik berisi taro ukuran besar serta minuman pesanan Rafa. Sementara 2 pesanan terakhir sedang dibuatkan.
Makanan itu dimasukkan ke tas ranselnya. Tidak lama berlalu 2 pesanan itu datang. Dan tanpa menunggu sampai taxi dia mulai memakan pizza. Ketika melewati suatu kios majalah, Rafa berhenti. Melihat-lihat ada majalah bagus nggak ya..
“Pak, saya beli animonster no.99 dong, terus majalah GO-nya ya..” pak tua itu memberikan kedua majalah yang diminta Rafa. Dan rafa memberikan uang sebanyak tiga puluh ribu. Dan dia berkata lagi, “Sama komik Conan no.68-nya..” pak tua itu memberikan komik itu dan memberi uang kembalian.
Barang yang diinginkan Rafa terpenuhi. Di taxi bisa makan sambil baca majalah pasti enak. Jaga-jaga kalau udah sampai gue dicuekin bokap. Gue bisa baca komik deh. Rafa jalan-jalan sebentar mengelilingi stasiun itu. Majalah-majalah yang baru dibelinya dimasukkan ke tas. Dan di tangannya hanya memegang pizza yang sedang dimakan.
Rafa udah cape, kemudian mencari taxi namun sepertinya seluruh taxi di stasiun itu penuh semua. Hingga ada petugas stasiun menghampiri anak yang terlihat mencari-cari sesuatu.
“Mencari sesuatu, dek?” tanyanya ramah.
“Taxi pak. Saya mau naik taxi. Tolong carikan..” tuan ramah itu tersenyum dan lewat walkie-talkie nya menghubungi kepala pusat stasiun. “Taxi..taxi.. kami butuh taxi segera, segera antarkan ke pintu 8 stasiun..” dan berkata lagi pada Rafa, “Tenang ya dek, sedang dipanggilkan..
Taxi biru itu datang, Rafa disuruh masuk. Dan anak itu duduk di kursi depan samping supir. Taxi mulai jalan, “Mau kemana, dik?” tanya sang supir. Rafa merogoh isi tasnya dan mengeluarkan kartu nama ayahnya, “Ini pak. Tolong ke alamat ini..” supir itu mengamati sebentar kemudian tersenyum sepertinya sudah tau dimana alamat itu. “Baiklah..”
Pizza itu sudah habis. Rafa kemudian meminum fruit tea rasa orange. Juga sembari makan taro ukuran besar. Juga Rafa memakan hot dog-nya. Hebat tiga makanan dalam satu waktu. Kedua pria di taxi itu tidak saling bicara. Hot dog itu akhirnya habis. Namun taronya tidak. Kan ukuran besar.
“Pak, alamat itu masih jauh tidak?”
“Masih cukup jauh dik.” Jawab tuan itu, “Tenang aja pak, saya punya uang untuk bayar kok.” Supir itu tertawa renyah. Karena masih jauh Rafa kemudian membaca majalah animonster no.99 yang baru dibelinya. Dan membolak-balik halaman demi halaman.
“Hallo, Dresty.. ini gue Rafa” Rafa mengeluarkan ponsel 7610-nya dan rupanya menghubungi gebetannya. “Udah beli Animons belum? Keren deh.. gue baru beli,” “Isinya ada gundam seed, sailor moon juga kesukaan lo, DN. Angel, bonusnya poster Niwa Daisuke sama Riku Harada lagi berpelukkan. Bagus deh,” katanya
“Ooh, lagi istrahat ya.. sory hari ini gue bolos. Gue pergi ke rumah bokap gue di Mangga Dua,” “Dres, kalau ada PR kasih tau Rafa ya!” pinta Rafa. “Eh, Dres udah dulu ya, salam aja buat Vanadi, Dimas sama Jerry.” Kemudian hubungan telepon terputus.
Dan Rafa kembali melihat-lihat majalah yang berisi anime japanesse itu. Sambil memakan taro dan fruit tea-nya. Rafa mengeluarkan dompetnya dan melihat sisa uangnya. Tadi oma ngasih Rafa 350 ribu. Buat ongkos naik angkutan umum dua ribu naik kereta lima ribu, jajan.. tadi Rafa jajan berapa ya.. pokoknya oma Cuma jatah lima puluh ribu. Tinggal naik taxi. Pokoknya cukup deh..
Dompet itu dimasukkan lagi kesaku belakangnya. Kemudian terdengar lagu “Helena” nya My Chemical Romance.. itu adalah dering hp kedua Rafa. Bukan yang 7610 tapi ponsel comunicater 9500. rupanya dari oma. Pasti cemas deh.. oma’kan terlalu khawatir.
“Iya oma, ini Rafa, tenang aja Oma. Rafa udah turun dari stasiun Mangga Dua sekarang Rafa udah mau sampai. Lagi di taksi.” Oma kemudian memberikan ceramahnya yang panjang lebar. Akhirnya selesai juga.
Ceramah itu berakhir juga. Rafa melanjutkan membaca Animonster. Sekitar sejam kemudian pak supir itu berkata, “Dek, kita sudah hampir sampai. Ini udah masuk komplek..” Rafa mengamati komplek perumahan ayahnya. Nggak ada rumah yang nggak besar dan nggak ada rumah yang nggak gede. Rafa sampai takjub. Kemudian majalah itu dimasukkan ke tasnya.
Taksi itu melewati lapangan basket di lapangan itu ada sekitar lima anak terdiri dari dua perempuan dan tiga laki-laki sedang main basket. Rafa jadi ingin main basket. Kemudian dia berkata, “disini aja Pak. Saya bisa cari alamat itu sendiri kok.”
“Nanti adek kesasar lho..”
“Nggak. Yang penting udah sampai kompleknya ini.”
Supir ini mengangguk. Rafa melirik ke rupiah yang harus dibayar. Jumlahnya 245000, Rafa memberikan uang itu dan keluar dari taksi. Perlahan-lahan taxi itu pergi. Rafa menghampiri anak-anak yang sepertinya seusia dengannya.
“Hai.. boleh ikut main?” pinta Rafa malu-malu. Kelima anak itu bingung karena ada anak yang tidak mereka kenal. Hingga ada seorang anak perempuan memberanikan diri mengulurkan tangannya pada anak asing itu.
“Tentu saja boleh. Aku Veronia,” Rafa menjabat tangan gadis mungil itu yang sepertinya lebih muda dari dirinya. “Aku Rafa…” jawabnya masih malu-malu. “Baiklah Rafa! Ayo kita main basket..” ungkap Veronia lebih jauh dan melempar bola basket ke Rafa. “Yang pakai handband Gianta,” Gianta melambai. “Yang sampingnya cewek itu Qian, cewek sebelahnya temenku Joanna..” baik Joanna maupun Qian melambai tanda persahabatan. “Kalau anak lelaki yang sok acuh itu Fred.” Senyum Veronia setelah memperkenalkan keempat sahabatnya pada Rafa. Sementara Rafa hanya cengar-cengir.
Mereka cepat akrab. Dan terus main basket. Three on three. Qian, Rafa, Joanna melawan Fred, Gianta dan Veronia. Bahkan Rafa melupakan untuk tujuannya datang ke perumahan itu. Hingga waktu menunjukkan jam dua siang. Fred, Qian, Gianta dan Joanna pulang, punya urusan masing-masing. Akhirnya tinggal Veronia dan Rafa tertinggal.
“Apa kamu anak baru?” tanya Veronia sambil mempermainkan bola basket.
“Tidak. Rumahku di Bekasi. Hanya ada keperluan hingga aku kemari.” “Untuk apa?” tanya Veronia. “Hari ini aku akan bertemu ibu baruku. Papaku baru menikahinya maka, aku kemari untuk bertemu dengannya.”
“Oh ya!” tiba-tiba muka Rafa menunjukkan kesedihan. “Kenapa Rafa jadi sedih? Veronia bikin kamu sedih ya?” Rafa menggeleng. “Hanya takut. Ibu tiri’itukan identik dengan yang galak-galak. Bagaimana kalau ibu baruku itu galak?!”
“Yah.. Rafa jangan sedih gitu dong, nanti Veronia ikut sedih..” kemudian Rafa minta maaf dan mereka berenam itu melanjutkan permainan.


Sekitar pukul empat—Fred, Joanna, Qian, Gianta hendak pulang. Namun Veronia belum hendak pulang. Maka keempat temannya itu pulang kerumah masing-masing. Hanya tinggal Rafa dan Veronia di lapangan itu.
“Terus Rafa kapan kerumah ayahnya Rafa?” Rafa diam sejenak berpikir. Dan kemudian dia berkata, “Nanti saja—gampang. Mending sekarang kamu pulang, ayo aku antar.” Ujar Rafa. Veronia tersenyum manis dan nggak keberatan diantar pulang. Sepanjang perjalanan mereka ngobrol’in masalah sekolah mereka, teman-teman mereka. Dan hal-hal yang menyenangkan lain



“Ini rumahnya Veronia…” kata Veronia dan menunjuk sebuah rumah besar. Rafa tertegun. Diliriknya alamat rumah itu Blok AE 4/113. rafa tidak bisa berkata apa-apa. Dia hanya bilang, begini, Veronia melakukan hal yang disuruh Rafa, “Vero, panggil deh, ayahmu..” Walau tidak tahu untuk apa Rafa menyuruhnya begitu—namun tetap dilakukannya. “AYYYAAAH… kemari sebentar…”
Seorang pria datang. Dan Rafa serta pria itu tentu saling kenal.
“Rafa, sudah sampai, kau, Nak..” senyum Pak Darmawan.
“Sudah Pa. Bahkan Rafa sudah bertemu adik baru Rafa…” ayah Rafa melirik kemudian tersenyum. Walau Veronia masih bingung kenapa ini. Hingga ayah menjelaskan. “Veronia, ini kakak baru kamu. Anak papa…”
“Hereline…kemarilah. Rafa sudah datang,” Rafa dan Veronia masuk kedalam rumah. “Aku nggak sangka akan dapat adik sepertimu, Vero..” Vero tidak berpendapat. Dia larut dalam kebingungan.
“Jadi—maksud Rafa takut kalau ibu tirimu itu jahat, itu ibu Veronia dong. Tenang saja. Mama Hereline baik kok!”
Rafa percaya. Sebab yang dia temui ialah, seorang wanita yang cantik nan jelita sama seperti ibu kandungnya. Dan dalam wanita itu tidak ada unsur kepura-puraan.
Kemudian, Rafa serta nenek pindah kerumah Dar di Mangga Dua. Nenek rupanya juga setuju akan wanita pilihan Dar yang amat baik dan perhatian itu.




===TAMAT===

Tidak ada komentar:

Posting Komentar