There`s More Meaning in Seventeen
Makna lain Tujuh Belas Tahun
Jalanan itu terasa panjang, padahal nggak amat-amat panjang juga sih. Mungkin karena aku diderita oleh rasa lapar yang amat sangat. Maka, hanya jalan 200 meter saja sudah mengeluh. Yah, wajarlah, sudah pukul tiga sore, cacing-caing perutku sudah seperti konser My Chemical Romance yang menarik perhatian banyak manusia—minta diisi sesuatu.
Aku mencintai pembantuku. Maksudnya bukan benar-benar cinta untuk menikahinya—ya nggak mungkin secara dia berkelamin sama denganku, tetapi, aku mencintai hasil masakannya. Kasihan dong, sudah capek-capek dibikinin nggak dimakan! Mama juga ikutan ngomel jika makanan masih utuh tidak disentuh.
Karena kecintaanku pada makanan pembantuku, disekolah aku tidak makan nasi disana, hanya terkadang saja jika benar-benar lapar dan diajak teman-teman makan bareng untuk memperkokoh persahabatan. Tapi jika tidak benar-benar mendesak aku memilih makan dirumah. So, di sekolah aku hanya jajan roti atau snack-snack ringan.
Aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Theresia Ajeng dan teman-teman memanggilku Ajeng.
Akhirnya, 200 meter berhasil kulalui. Dan mulai membuka pintu rumah yang kuncinya disembunyikan dibawah pot bunga anggrek hitam milik mama. Langsung aku merayap ke kamar tidur mengambil baju. Tidak lantas tidur atau merebahkan diri di kasur yang empuk. Hanya mengambil kaos biru bergambar winnie the pooh kartun favouriteku lantas menuju dapur dan menyerangkan aksiku menghabisi semua makanan yang sudah pembantuku sediakan. Hingga sesuatu berdering. Ya. Hapeku berdering.
“Ajeng. Ajeng. Ajeng. lo nggak lupa janji kita malam ini khan?” seseorang langsung nyerocos dibalik telpon.
“Iya. Gue lagi makan. Gue langsung kesana habis makan.” Kureject telpon dari Dylla sahabatku emang sih dia sahabatku, tapi bukan berarti dia bisa seenaknya mengganggu jam makan siangku.
*******
Ketika sedang asyik-asyik menyaksikan pemutaran film bergenre horor komedi yang berjudul siang bolong, sebuah tangan pria jahil hendak memegang tanganku. Kontan gue berontak dan berteriak ditengah gedung bioskop gede itu.
“Anjrit lo. Baru kenal udah berani kayak begini. Heran kok Dylla punya temen kayak lo. Udah gue mau pulang. Nggak usah ngejar gue!!” gue menuju tanda exit yang disediakan. Gila. Kurang ajar amat Yudha. Baru aja ketemu di café Semanggi tiga puluh menit yang lalu, pas nonton tangannya udah bertamasya. Gile bener Dylla. Nggak becus nyariin gue pacar.
Sepulang dari mall itu, aku komplen ke Dylla. Aku memang minta dicariin cowok, tapi jangan jelek-jelek amatlah. Tampang pas-pasan, nggak mau rugi pula. Makan nyari di foodcourt kualitas rendahan, pas nonton biaya popcorn sama minum gue yang bayarin. Pas gue kabur, dia nggak ngejar gue. Gue yakin gara-gara dia nggak mau rugi nggak nonton sampe habis. Dasar cowok pelit!!
“Maaf yah, Jeng. Gue nggak bermaksud nyinggung lo, tapi..”
“Gue emang udah lama nggak punya pacar, tapi ya jangan seburuk itu!”
“Habis, lo baru ngasih tau kemaren. Ya gue langsung nyari stok-stok cowok dari kontak gue dan yang paling pertama di kontak gue Adry Yudha. Maaf ya, kawan.” Saking keselnya gue matiin tuh handphone.
Memang sih, aku ini terlahir dengan nggak cantik-cantik amat. Temanku juga nggak banyak-banyak. Tapi aku cukup bahagia. Keluargaku, yah walaupun nggak tajir-tajir amat, tapi keluargaku menurutku ialah keluarga paling sempurna. Menurutku. Tidak akan pernah berubah.
Pagi ini Dylla tidak henti-hentinya memohon maaf padaku, aku sebenarnya sudah melupakan kejadian tadi malam. Aku tipe manusia yang nggak bisa lama-lama marah. Apalagi dengan teman sendiri. Tapi yah, iseng dengan teman sendiri nggak apa. Karena kasihan Dylla nggak berhenti minta maaf, aku langsung memeluknya. Menandakan aku sudah lupa kejadian kemarin.
“Gue janji besok ngenalin sama yang lebih baik dari Yudha. Janji.” Kami tertawa renyah dan menuju kelas untuk menikmati masa SMA yang sungguh amat menyedihkan dengan PR, ulangan harian, ulangan blok, ulangan umum, remedial, praktikum-praktikum dan sebagainya.
Hampir lima belas menit aku dan Dylla menunggu pria yang sudah janji untuk bertemu dengan kami di café Pink Mate. Kata Dyla kali ini pria itu lebih baik dari Yudha. Namanya Sandy. Semoga lebih baik dari kemarin. Tanggal 14 kian dekat dan aku harus memiliki pacar. Tapi kok, baru pertama kali ngedate udah telat. Nggak gentle membiarkan cewek menunggu. Aku udah keburu ilang feeling deh.
Hari ini Dylla janji mempertemukan aku dengan kawan prianya. Dylla yang cantik emang dengan gampang dapat pria untuk diajak date. Nggak salah aku meminta tolong untuk dicarikan pacar padanya. Aku punya target yang harus kumiliki sebelum tanggal 14!!
Lamunanku tentang tanggal 14 sirna ketika seorang cowo mendekati Dylla, dan! Memang dia. Dia yang bernama Sandy. Astaga! Aku nyaris tidak bisa mengedipkan mata. Mataku yang kecil sudah kuperingatkan untuk tidak menunjukkan bahwa aku love at the first sight padanya. Namun—otakku sudah sangat kacau kala itu. karena aku sudah benar-benar jatuh cinta dengan pria yang bernama lengkap Sandy Pangalila.
Hiks.. Hiks.. Hiks..
“Ajeng, biarkan mama membantu menyelesaikan masalahmu, Nak..”
“Nggak usah, jangan ganggu aku. Itu sudah cukup!” isakku di kamar sambil memeluk boneka Winnie the pooh. Suara mama tak terdengar lagi. Sepertinya ia menyadari anak gadisnya yang usianya nyaris mendekati 17 tahun ini membutuhkan ketenangan untuk menyelesaikan masalahnya.
Hampir satu box tissue kuhabiskan untuk menghapus air mata ini, tapi tissue-tissue itu tidak cukup lembut untuk membantu membersihkan luka hatiku sejujurnya. Aku baru saja mengalami kejadian pahit tadi siang. Aku, aku melihat Sandy , Sandy Pangalila yang kusayang dan yang sangat aku ingini jadi pacar, menembak sahabatku Dylla.
“Kurasa ini saat yang tepat untuk mengatakannya,” kuingat-ingat kata-kata Sandy saat memberikan buket bunga cantik untuk Dylla.
“Kau salah kirim bunga. Seharusnya, kau mengirimi Ajeng. Bukan aku.”
“Sejak awal, aku mengikuti perjodohan ini supaya bisa dekat denganmu.”
“Aku nggak bisa mengkhianati sahabatku sendiri. Maaf.” Sungguh, ditempat persembunyianku, aku bahagia saat Dylla menjawab seperti itu. tapi tetap saja, sepulang dari mall itu aku menangis. Menangis karena Sandy lebih memilih Dylla.
Lalu? Lalu bagaimana denganku? Apakah diusiaku menginjak 17 tahun, aku ditakdirkan untuk menjomblo?
Hello, aku sudah mempersiapkan ini jauh-jauh dari. Aku memesan pada Dylla agar mencarikanku pacar, walau awalnya sempat tak mengenakkan, tapi kupikir akan berakhir sempurna ketika kutemui Sandy. Kupikir Sandy ialah cowok tepat untuk menemaniku melewati detik-detik pergantian usiaku dari 16 ke - 17 tahun.
14 Februari yang jatuh pada esok hari ialah hari ulang tahunku. Lebih special lagi karena itu my sweet seventeen, aku mendamba-dambakan sweet seventeen yang sempurna. Ditemani oleh pacar. Aku sangat mendamba-dambakan pacar, karena aku tidak memiliki terlalu banyak teman. Dengan tidak memiliki banyak teman, dipastikan aku tidak akan mendapatkan kejutan dari mereka. Maka, aku sangat berharap memiliki pacar di usia 17 tahun. Karena pastilah aku akan mendapatkan kado special darinya.
Tapi—malam ini, aku harus sadar tidak bisa mencapai target itu. aku memang harus melewati detik-detik pergantian usia sendiri. Sedih. Ooh, tahun ini, tak akan ada yang spesial. Akhirnya aku berdoa.
Ajaib. Setelah aku berdoa. Diriku seakan diberi kekuatan. Bahwa, Tuhan memberi sesuatu tepat waktunya. Berarti awal usia 17 tahunku aku memang harus sendiri. Aku harus berusaha untuk menjadi lebih dewasa sendiri. Masalah akan ada kejutan atau tidak dari sahabat-sahabatku, itu tidak penting. Ada atau tidak kejutan, mereka tetap ada untukku. Namun, yang sudah pasti, mama menyiapkan kue tart besar untukku. Itu cukup kok. Semoga.
Dan yang paling penting dari makna 17 tahun ialah pembenahan diri. Pembenahan diriku sendiri. Aku harus semakin dewasa, semakin ramah dan harus sering tersenyum pada orang-orang disampingku. Aku butuh kedewasaan pada setiap kelakuanku. Dan aku yakin, teman-teman dan keluargaku selalu siap menolongku.
Dengan yakin tanpa air mata, aku keluar kamar sambil berteriak, “Mama, bantuin aku bikin cokleat untuk teman-teman sekelas..”
Sabtu, 29 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar